Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengkoneksikan "KPK Whistleblower System" pada tujuh Kementerian yang dianggap rawan terhadap penerimaan gratifikasi.

"Soal gratifikasi mungkin belum semua pegawai negeri sipil membaca Undang-undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Dengan koordinasi bersama tentu upaya menekan gratifikasi dapat dilakukan," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar di Jakarta, Rabu.

KPK Whistleblower System (KWS) dikoneksikan pada tujuh Kementerian, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Dalam Negeri.

Tidak hanya KWS, KPK juga meluncurkan Pusat Pelaporan Gratifikasi (PPG) dan Anti Corruption Clearing House (ACCH) bersinergi di ketujuh instansi.

Ia menjelaskan bahwa semua penerimaan pegawai negeri sipil diluar gaji dan tunjangannya merupakan gratifikasi. Dan pemberian yang dimaksud sebagai gratifikasi tidak hanya uang, tetapi lebih luas seperti diskon, tiket perjalanan, rabat, pengobatan cuma-cuma.

Pemberian, lanjutnya, tetap dianggap gratifikasi jika diterima di luar negeri, atau diterima dengan menggunakan sarana elektronik maupun tidak.

"Parsel juga masuk sebagai gratifikasi. Jadi kalau sampai ada pejabat yang terlanjur menerima gratifikasi segera melaporkannya ke KPK, UU mewajibkan mereka laporkan gratifikasi tersebut dalam 30 hari kerja," ujar dia.

Berdasarkan laporan dari Inspektorat Jenderal tujuh Kementerian yang dijadikan pilot project penempatan KWS ini laporan masyarakat terkait gratifikasi banyak diterima. Namun demikian banyak PNS yang telah kepalang menerima gratifikasi tidak mengetahui akses untuk mengembalikan pemberian tersebut.

Adanya koneksi dengan KPK, maka akan mempermudah pegawai instansi mengembalikan gratifikasi tersebut. "Kerja sama dengan Itjen dilakukan karena mereka lebih mengetahui kondisi di instansinya," ujar Haryono.

Menurut Haryono, pembangunan KWS di tahun pertama dibiayai GTZ. Namun di tahun ketiga sudah dibiayai sendiri oleh KPK.

"Hanya tahap awal pembuatan program saja yang menghabiskan dana besar. Namun setelah aplikasi berjalan biaya akan berkurang," ujar dia.

Pembiayaan pembuatan aplikasi yang tidak dikenakan pada Kementerian tersebut menghabiskan dana 30.000 Euro.(*)
(V002/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010