Alasannya, sifat virus adenovirus simpanse yang digunakan produsen sebagai vektor dalam kandungan AstraZeneca belum banyak diungkap peneliti di dunia.
Profesor yang telah merampungkan 11 penelitian ilmu biologi yang dipublikasi pada jurnal nasional dan internasional itu mencurigai daya biologis adenovirus simpanse pada vaksin AstraZeneca berkaitan dengan reaksi abnormal seperti pembekuan darah pada manusia.
"Jadi secara virologi, saya curiga dari komponen virusnya yang memicu reaksi gangguan pembekuan darah," katanya.
Adenovirus pada simpanse, kata Mahardika, tergolong metode baru dalam pembuatan vaksin yang mulai dipakai pada kurun 2005/2006, sehingga wajar bila sifatnya belum banyak diungkap secara menyeluruh kepada publik. Sementara metode produksi vaksin jenis lain seperti penggunaan adenovirus manusia, sudah lama dipelajari peneliti dan sudah lebih dikenal publik.
Vaksin COVID-19 AstraZeneca, atau yang dikenal sebelumnya AZD1222, ditemukan oleh Universitas Oxford dan perusahaan Vaccitech.
Berdasarkan keterangan resmi perusahaan, AstraZeneca diakui menggunakan vector virus simpanse yang diklaim tidak bereplikasi berdasarkan versi yang dilemahkan dari virus flu biasa yang menyebabkan infeksi pada simpanse dan mengandung materi genetik dari protein spike virus SARS-CoV-2.
Setelah vaksinasi, diproduksilah protein permukaan spike yang akan mempersiapkan sistem kekebalan untuk menyerang virus SARS-CoV-2 jika kemudian menginfeksi tubuh.
Menurut Mahardika, adenovirus simpanse memiliki beberapa komponen gen yang dihilangkan lalu diganti dengan gen COVID-19 melalui rekayasa genetik.
Tetapi gen adenovirus yang lain bisa saja menghasilkan sesuatu yang bisa mengganggu pembekuan darah pada manusia. Adenovirus simpanse ini membutuhkan kajian yang sangat detail sekali sehingga tidak bisa diketahui secara cepat, kata Mahardika.
Baca juga: Bio Farma ungkap opsi RI bisa lolos syarat haji Pemerintah Saudi
Statistik kasus
Mahardika mengunggah laporan Pemerintah Inggris yang diumumkan pada 14 April 2021, bahwa terjadi 168 laporan pembekuan darah dengan trombosit rendah yang dikaitkan dengan vaksin AstraZeneca. Kejadian itu dialami oleh 93 wanita dan 75 pria pada kelompok usia 18 hingga 93 tahun.
Dalam laporan itu juga disebutkan ada 32 kasus kematian dari total 21,2 juta dosis AstraZeneca yang diberikan kepada warga setempat. Mayoritas terjadi setelah penyuntikan dosis vaksin pertama dan satu kasus terjadi setelah dosis kedua.
Walau angka kasus kematian yang mungkin berkaitan dengan vaksin ini secara populasi terbilang kecil, hanya 7,9 per satu juta kasus di Inggris, namun Mahardika mendorong agar laporan statistik tersebut disikapi serius otoritas terkait di Indonesia melalui evaluasi secara menyeluruh sebab mempertaruhkan nyawa manusia.
"Kalau seandainya kejadian ini terjadi pada banyak jenis vaksin, maka saya akan mengatakan pembekuan darah pada vaksin AstraZeneca karena faktor kebetulan. Tapi karena ini kejadiannya hanya pada satu jenis vaksin, maka pilihannya kita harus 'memelototi' vaksin ini," katanya.
Prinsip umum ilmu pengetahuan dan agama, kata Mahardika, menyebutkan bahwa kemampuan pengetahuan manusia jauh lebih sedikit dari ilmu pengetahuan yang sebenarnya, termasuk risiko adenovirus.
"Meskipun proporsinya 7,9 per 1 juta orang secara statistik, tapi kita bicara nyawa manusia. Jangankan tujuh, satu pun bagi saya harus dievaluasi. Kalau terkait komponen vaksinnya, tidak ada pilihan lain agar dihentikan," katanya.
Mahardika mengingatkan pihak terkait di Indonesia jangan bermain-main dengan kematian dalam program vaksinasi COVID-19, sebab hidup dan mati manusia itu tidak bisa dikaitkan dengan angka statistik.
Masih ada waktu bagi Indonesia beralih sementara pada pilihan jenis vaksin lain yang dinilai Mahardika memiliki risiko yang relatif lebih rendah bagi penerima manfaat.
Sebab pemanfaatan AstraZeneca di Indonesia masih relatif sedikit dosisnya. Hingga saat ini Indonesia telah menerima vaksin Sinovac total 68.500.000 dosis, AstraZeneca dari COVAX Facility 6.410.500 dosis, dan vaksin Sinopharm 1 juta dosis.
"Kita sebenarnya ada pilihan lain seperti Sinovac, Moderna, Pfizer, Jhonson and Jhonson, dan lainnya. Itu kan belum ada laporan seperti AstraZeneca. Artinya, reaksinya jauh lebih ringan dibandingkan AstraZeneca.
Baca juga: Kemenkes jamin vaksin COVID-19 AstraZeneca aman
Klaim keamanan
Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) Profesor Hindra Irawan Satari mengemukakan vaksin COVID-19 AstraZeneca diketahui dikembangkan dengan metode adenovirus dari simpanse, sehingga berbeda dari produk vaksin COVID-19 yang lain.
Pemanfaatan adenovirus manusia, kata Hindra, kurang optimal membawa material genetik viral vector masuk ke dalam tubuh manusia, sebab akan dinetralisasi oleh antibodi manusia yang sudah mengenal serangan virus.
"Adenovirus itu banyak macamnya. Kalau pakai adenovirus manusia, itu sebenarnya menyerang manusia dengan gejala ringan. Biasanya demam, batuk, pilek karena kita sudah punya antibodi," katanya.
Adenovirus simpanse selama ini tidak pernah menyerang manusia, maka tubuh tidak pernah punya antibodi sehingga optimal membawa material genetik viral vector masuk ke dalam tubuh manusia dan tidak dinetralisasi oleh antibodi.
Hindra memastikan bahwa adenovirus simpanse yang direkayasa secara genetika tidak akan bereplikasi sehingga tidak ganas atau berkembang biak di dalam tubuh seseorang, apalagi mempengaruhi materi genetik seseorang.
Sebab materi genetik yang dibawa tidak akan berkontak dengan materi genetik manusia dan materi genetik yang dibawa adenom virus itu dibentuk jadi protein lain bernama protein spike SARS-CoV-2. "Jadi tidak ada pengaruhnya terhadap genetik seseorang," katanya.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah kejadian medis yang diduga terkait dengan vaksinasi. Kejadian KIPI serius yang diduga terkait vaksin AstraZeneca baru-baru ini telah terkonfirmasi tidak berkaitan langsung dengan vaksin tersebut.
Data-data yang sudah dikumpulkan Komnas KIPI menurut Hindra, telah dibandingkan dengan hasil uji klinik vaksin AstraZeneca sehingga saat ini Komnas KIPI bisa mengambil kesimpulan atas kejadian tersebut.
“Kasus KIPI terakhir yang sudah kami investigasi, setelah mengkaji data rekam medis pasien, dan pemeriksaan laboratorium, bisa disimpulkan kasus tersebut disebabkan oleh penyebab lain, tidak terkait dengan vaksin AstraZeneca,” katanya.
Proporsi KIPI yang dilaporkan masyarakat Indonesia mengenai AstraZeneca lebih rendah daripada data hasil uji klinik fase pertama hingga ketiga vaksin tersebut. Oleh karena itulah AstraZeneca aman digunakan.
Hal ini diperkuat keterangan Ketua Komda PP KIPI Provinsi DKI Jakarta, Ellen Sianipar. "Sampai kini KIPI yang ditemukan khususnya di DKI Jakarta masih bersifat ringan seperti demam yang kemudian bisa hilang dengan sendirinya setelah satu dua hari,” katanya.
Sebelumnya AstraZeneca sudah dipakai untuk vaksinasi anggota TNI dan Polri sejak akhir Maret 2021 dan berlanjut untuk masyarakat umum pada Mei 2021.
Gejala-gejala yang perlu diperhatikan dan dilaporkan kepada otoritas terkait dari gejala vaksinasi AstraZeneca adalah sakit kepala yang hebat, penglihatan kabur, sesak napas, sakit perut, dan pembengkakan tungkai.
Perlu diketahui oleh masyarakat, bahwa KIPI setelah divaksinasi AstraZeneca pada kelompok lanjut usia lebih rendah risikonya dibandingkan kelompok umur lainnya. “Justru kalau merujuk hasil penelitian yang ada, vaksin AstraZeneca lebih aman diberikan kepada lansia. Angka di Inggris, angka kematian, sakit berat, dan dirawat di rumah sakit telah menurun,” kata Hindra.
Pakar imunisasi yang juga mantan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi, meminta kejujuran masyarakat untuk melaporkan masalah kesehatan yang mereka alami sebelum penyuntikan vaksin COVID-19.
Apabila sakit, sebaiknya berobat terlebih dahulu agar vaksin yang bereaksi dalam tubuh tidak mubazir membentuk antibodi. Sebab apabila seseorang jatuh sakit dan diduga terkait vaksinasi bisa memperlama program vaksinasi di Indonesia.
Menurut Jane, vaksin AstraZeneca adalah vaksin yang saat ini paling banyak digunakan di seluruh dunia. Jumlah kasus global saat ini pun sudah mulai menurun karena adanya program vaksinasi global saat ini. Jumlah kasus COVID-19 seperti di Amerika dan Eropa yang sempat tinggi, kini sudah turun.*
Baca juga: Pakar: General check up sebelum vaksinasi, pilihan yang berlebihan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021