Colombo (ANTARA News) - Majalah Newsweek edisi akhir Agustus mengeluarkan rilis 100 negara terbaik berdasarkan kualitas hidup, dinamika ekonomi, dan pendidikan. Finlandia bertengger di puncak, sedangkan Indonesia menempati posisi 73.
Yang mencengangkan, Srilangka menempati pEringkat 66 atau tujuh tingkat di atas Indonesia. Padahal, negara ini baru saja mengakhiri konflik berkepanjangan melawan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) atau Macan Tamil.
Menurut sejumlah kalangan, termasuk diplomat-diplomat asing di Srilangka, negeri yang disebut Alengka dalam epos Ramayana ini dianggap lebih stabil dibandingkan negara Asia Selatan lainnya, termasuk India.
Negara ini kini menjadi salah satu tujuan pariwisata menarik, apalagi posisi geografinya ada di jalur terbang dunia, dan dekat dengan situs-situs wisata papan atas dunia seperti Maladewa dan Thailand.
Ekonominya bertumbuh di mana modal asing mengalir deras, sehingga proyek-proyek ambisius seperti Pelabuhan Humbantota dan Bandara Mattala dibangun.
"Negeri ini seperti Indonesia di era Orde Baru. Pinjaman internasional mengalir masuk," kata seorang diplomat senior RI di Srilangka.
Rezim Mahinda Rajapaksa yang tengah berkuasa di Srilangka memang memerintah cenderung dengan tangan besi, tapi dalam banyak hal Srilangka mampu merengkuh pencapaian ekonomi yang mengesankan.
Sebaliknya, komunitas internasional meminta pemerintah Srilangka membuktikan diri telah adil kepada minoritas, termasuk selama kampanya militer di utara dan timur negeri ini, di mana Macan Tamil berbasis.
PBB menuntut investigasi terhadap pelanggaran HAM, baik yang dilakukan pemerintah Srilangka maupun Macan Tamil.
Pemerintah Srilangka bertahan dari tuntutan PBB itu karena menganggap usulan itu kreasi musuh-musuhnya di luar negeri, termasuk dunia Barat sendiri.
"Tuduhan pelanggaran HAM itu biadab," kata Duta Besar Srilangka untuk PBB, HMGS Palihakkara.
Sejumlah intelektual Srilangka menimpali dengan mengatakan pihak-pihak yang sibuk mengadu domba Srilangka terus menekan Srilangka di segala front, termasuk ekonomi, dan mendekarakterisasi citra internasional Srilangka.
Palingkan Muka
"Jaringan LTTE berusaha meyakinkan pemerintah negara lain dan masyarakat bangsa lain bahwa ada pembasmian etnis, genosida, dan kejahatan perang di Srilangka," kata Rohan Gunaratne, profesor studi strategis pada Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
Tak pelak, pemerintah Srilangka menilai upaya PBB menginvestigasi kejahatan HAM sebagai titipan asing. Mereka pun menolak didatangi PBB, sampai-sampai Marzuki Darusman yang ditugasi mengepalai misi HAM PBB, ditolak masuk Srilangka.
Di sudut lain, banyak pihak menilai konflik yang berakhir setelah terbunuhnya pemimpin Macan Tamil Vilupilay Prabakharan setahun lalu, bermula dari kolonial Inggris.
Penguasa kolonial dianggap telah menanam bom waktu dengan mengelas-kelaskan penduduk negara pulau tersebut, dan menelantarkan Sinhala yang mayoritas.
Oleh karena itu, ada kecenderungan untuk menimpakan konflik domestik kepada Inggris, elite Srilangka didikan Inggris, dan Barat pada umumnya.
"Ancaman terhadap Tamil dan Muslim (Srilangka) bukanlah dari Sinhala, namun dari Barat yang tidak menaruh hormat pada kebudayaan apa pun kecuali budayanya sendiri," kata kolumnis Nalin Da Silva, dalam The Island.
Namun upaya rekonsiliasi setelah terbunuhnya Prabakharan, juga ditentang sejumlah pihak. Sebagian besar elite Sinhala engan merangkul Macan Tamil. Ironisnya, tokoh-tokoh Sinhala terlibat dalam persaingan kekuasaan di antara mereka.
Yang termutakhir dan selalu menempati halaman depan koran-koran Srilangka adalah pengadilan terhadap mantan panglima angkatan darat Jendral (purn) Sarath Fonseka yang baru saja dilucuti semua kepangkatannya oleh Mahkamah Agung.
Perjalanan politik Fonseka harus berakhir di pengadilan karena perbedaan-perbedaan politik yang tajam antara dia dan sistem yang berkuasa sekarang, padahal Fonseka diklaim sebagai pahlawan kemenangan atas Macan Tamil oleh banyak masyarakat Srilangka.
Kendati begitu, meski yang berkuasa sekarang tampak berusaha memusatkan kekuasaan, rezim Srilangka tak sebrutal gambaran media Barat. Bahkan banyak kalangan di Srilangka malah melihat Macan Tamil lebih kejam. Tetapi, tetap pemerintah Srilangka ditentang Barat.
Dalam beberapa aspek, klaim-klaim Barat di Srilangka itu mungkin benar. Tapi di zaman ini, sulit mengenal suatu negara tanpa berusaha memahami konstruksi sosial negara itu.
Buktinya, karena merasa dikepung Barat, Srilangka memalingkan muka ke kawasan lain, terutama tetangga-tetangganya di Asia.
"Srilangka harus menjadi anggota masyarakat Asia yang dihormati, sekaligus mendapat perlindungan dari kawasan ini," tulis intelektual Dayan Jayatikella dalam The Island.
Dayan mengatakan, tak apa-apa Srilangka dimusuhi Barat, namun negeri ini harus bisa mendapatkan teman dari negara-negara non Barat yang dia sebut sebagai "Global South."
Pasar Menarik
Tidak heran, pintu ekonomi Srilangka sekarang dibuka lebar-lebar untuk China, India, Malaysia, Arab, atau bahkan Vietnam yang sama-sama sosialis.
Indonesia tampaknya juga sedang dibidik, setidaknya dari sinyal kedatangan sejumlah pejabat teras negara itu pada malam resepsi Hari Kemerdekaan RI ke 65 di kediaman Duta Besar RI di Srilangka, Djafar Husein, 17 Agustus lalu.
Seorang menteri, sejumlah pejabat penting dan dua kepala staf angkatan bersenjata Srilangka hadir dalam acara itu. Ini ibarat isyarat bahwa pemerintahan Rajapakse berminat memperbanyak sekutu di Asia.
"Tidak, kunjungan mereka (pejabat-pejabat Srilangka itu) rutin saja," kata Deputi Menteri Luar Negeri Srilangka Geethanjana Gunawerdana, saat dimintai pandangannya mengenai kehadiran Menteri Perindustrian Srilangka dan sejumlah pejabat teras negerinya dalam resepsi Kedubes RI itu.
Gunawerdana boleh membantah, tapi fakta di lapangan menunjukkan lain.
Derasnya aliran modal dan respon moderat Asia terhadap politik Srilangka yang membuat nyaman negeri itu adalah bukti bahwa Srilangka didekati secara intensif oleh kekuatan-kekuatan ekonomi di Asia.
Di antara itu semua, China tampaknya yang paling agresif menjalin hubungan ekonomi dengan Srilangka, lewat gaya diplomasi yang menolak mengurusi urusan dalam negeri negara lain, sehingga raksasa Asia ini mendapatkan banyak insentif dari sikapnya terhadap Srilangka tersebut.
Tidak hanya China, sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, UEA, dan tentu saja India, juga melakukan pendekatan mirip dengan China.
Alhasil, perusahaan-perusahaan telekomunikasi, konstruksi dan perbankan Asia dengan pasti memasuki pintu-pintu kesempatan ekonomi di Pulau Tetes Air Mata ini. Contohnya, raksasa telekomunikasi Timur Tengah dari Abu Dhabi, Etisalat, yang bersaing dengan Dialog dari Malaysia dan Tata dari India, memburu pasar komunikasi Srilangka.
Pun demikian pada industri dirgantara, di mana maskapai Air Asia dari Malaysia gencar memburu negara yang letak geografinya strategis di jalur penerbangan dan pelayaran internasional tersebut.
Indonesia tentu dapat membaca peluang dan konfigurasi ekonomi negara di sebelah barat laut Aceh ini. Tapi hanya perkara waktu apakah Indonesia benar-benar membaca peluang itu.
"Orang Indonesia umumnya menganggap Srilangka itu kotor dan terbelakang, padahal tidak," kata Albert Abdi, diplomat pada Kedubes RI di Srilangka.
Kenyataannya, daya tarik ekonomi dan pariwisata Srilangka kini berubah seksi, kendati di sejumlah kota, tentara bersenjata awas berjaga-jaga, mengesankan ketatnya pengamanan.
Bukti lain, Newsweek menempatkan Srilangka sebagai salah satu dari 70 negara terbaik dunia. (*)
AR09/H-KWR
Oleh Jafar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010