Pemkot Cimahi meraih opini WTP pada tahun 2016. Namun, pada tahun yang sama, Wali Kota Cimahi malah terjerat kasus korupsi.
Bandung (ANTARA) - Raihan beruntun opini wajar tanpa pengecualian tidak otomatis pemerintah daerah bebas dari korupsi karena penghargaan WTP ini berkaitan dengan prosedur administratif yang baik.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat pada tahun ini memberi penghargaan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepada sejumlah pemerintah daerah, salah satunya adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Bagi Pemkot Bandung, penghargaan pada tahun ini merupakan kali ketiga pada masa kepemimpinan pasangan Oded M. Danial dan Yana Mulyana sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung.
Penghargaan opini WTP ketiga itu ditujukan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemkot Bandung Tahun 2020. Hasil penilaian itu sendiri disampaikan oleh BPK Perwakilan Jawa Barat.
Namun, torehan baik atas laporan keuangan itu hanya berkaitan dengan administratif semata secara formal. Meski laporan keuangan sudah baik, opini WTP itu belum bisa membuktikan bahwa suatu daerah telah bebas dari praktik korupsi.
Kendati demikian, Wali Kota Oded M. Danial ingin terus mempertahankan opini WTP sekaligus menjadi modal untuk bebas dari praktik korupsi.
Bagi Oded, yang paling penting adalah bagaimana Pemkot Bandung terus menyempurnakan sistem tata kelola keuangan agar makin akuntabel.
Ia bertekad akan terus membimbing dan mengawal para kepala organisasi perangkat daerah (OPD) di dalam tata kelola keuangan. Ketika memiliki semangat dan tujuan, perlu pula kredibilitas dalam pelaksanaan penganggaran di Pemkot Bandung.
Kaitan dengan antikorupsi, Pemkot Bandung telah menerima beberapa penghargaan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
Penghargaan WBK itu diterima Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung pada bulan Desember 2020.
Baca juga: KPK konfirmasi Oded M Danial soal proses penganggaran RTH Kota Bandung
Substansi Penganggaran
Sementara itu, pakar kebijakan publik Prof. Cecep Darmawan memandang perlu langkah selanjutnya setelah menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yakni substansi penganggaran. Ini tak kalah penting untuk menjalankan roda pemerintahan yang lebih baik.
Oleh karena itu, Prof. Cecep Darmawan meminta pemerintah daerah jangan menjadikan penghargaan WTP untuk berpuas diri. Hal ini mengingat opini WTP hanya berkaitan dengan prosedur administratif yang baik.
Substansi penganggaran yang dimaksud Prof. Cecep ialah instansi pemerintahan perlu mempersempit celah korupsi, mulai dari penganggaran yang berpihak pada publik. Jangan sampai alokasi anggaran kedinasan lebih besar daripada anggaran pelayanan publik.
Misalnya, biaya kantor sebesar Rp1 miliar, sedangkan untuk pelayanannya sebesar Rp500 juta.
"Jadi, itu 'kan boros, harusnya 'kan dibalik," kata Cecep yang merupakan Guru Besar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) saat dihubungi di Bandung, Jawa Barat, Senin.
Maka dari itu, pemerintah daerah tidak boleh terjebak oleh penghargaan dari BPK tersebut. Meski laporan keuangan telah akuntabel, praktik korupsi masih harus diberantas mulai dari hal kecil.
Opini WTP itu harus dijadikan modal bahwa pemerintah daerah tidak hanya mengejar penghargaan tersebut, tetapi juga substansi penganggaran harus berpihak pada rakyat.
Ditekankan pula bahwa WTP itu jadi modal bahwa Kota Bandung tidak hanya raih opini wajar tanpa pengecualian meski WTP suatu keniscayaan.
Selain keberpihakan pada publik melalui pelayanannya, instansi pemerintahan pun perlu mengalokasikan anggaran yang pro dengan rakyat yang prarejahtera (pro-poor budget).
Agenda substansi seperti itu seharusnya paralel dan tidak boleh terabaikan dalam penganggaran. Hal itu juga menjadi fungsi dari inspektorat sebagai lembaga pengawas di internal pemerintahan.
Setidaknya, penganggaran dari sisi prosedurnya baik, propublik, pro-poor budget, dan antikorupsi. Apalagi, pada era modern ini, fenomena prasejahtera atau kemiskinan memang tak lagi bisa dianggap hanya sebatas akibat dari ketidakmampuan seseorang untuk penuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Namun, kemiskinan juga perlu dipandang sebagai permasalahan yang kompleks yang disebabkan oleh beberapa faktor sosial. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu untuk menangani hal tersebut.
Baca juga: KPK kembali panggil mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada
Realokasi Anggaran
Saat ini beragam level instansi pemerintah pun berupaya melakukan realokasi anggaran akibat adanya pandemi COVID-19. Pasalnya, pandemi yang terjadi saat ini bukan hanya menyerang aspek kesehatan, melainkan juga memengaruhi roda perekonomian.
Sejumlah kepala daerah di wilayah Bandung dan sekitarnya rata-rata pernah berurusan dengan KPK, termasuk mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada. Kini yang bersangkutan masih menjalani masa hukumannya di Lapas Sukamiskin.
Yang terbaru adalah Bupati Bandung Barat dan Wali Kota Cimahi juga ikut terseret kasus korupsi. Bupati Bandung Barat terseret atas dugaan korupsi pengadaan barang darurat penanganan COVID-19.
Oleh karena itu, seyogianya akuntabilitas dalam sebuah birokrasi perlu berjalan dengan baik, bukan semata-mata untuk meraih opini WTP, melainkan juga bertujuan untuk mencegah praktik korupsi
Pasalnya, opini WTP tidak menjamin bebas praktik korupsi, terbukti Wali Kota Cimahi periode 2012—2017 Atty Suharti turut ditangkap KPK.
Padahal, dalam periode tersebut, Pemerintah Kota Cimahi meraih opini WTP pada tahun 2016 atas Laporan Keuangan Tahun 2015. Namun, pada tahun yang sama, Atty justru terjerat kasus korupsi.
Hal tersebut semestinya perlu menjadi contoh bagi pemerintah daerah agar tidak terlena dengan raihan opini WTP yang tidak otomatis telah bebas dari korupsi.
Baca juga: KPK limpahkan berkas perkara Wali Kota Cimahi nonaktif ke pengadilan
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021