Semua orang mungkin mengenal Kota Yogyakarta yang eksotik dengan komunitas musisi jalanannya yang unik dan menarik, sampai-sampai grup musik sekaliber KLa Project menuangkannya dalam sebentuk lagu.

Namun, bagi masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, tak perlu jauh-jauh ke Yogyakarta untuk dapat menikmati eksotisme musik jalanan.

Meski mungkin tak seramai dan seeksotik malam di Kota Yagyakarta, namun di Kota Barabai, ibu kota HST, `kita` dapat menikmati nuansa malam yang sangat berbeda dari kota-kota lain.

Di Kota Barabai, tepatnya di kawasan Pujasera atau biasa disebut pula Terminal Lama, sering dijadikan tempat berkumpul para musisi Kota Apam itu (istilah lain dari Kota Barabai).

Bukan hanya sekedar berkumpul, bersenda gurau atau bergosip ria, mereka bahkan bermain musik pula di sana. Di pojokan terminal, dibuat semacam panggung kecil lengkap dengan susunan `sound system` yang lumayan banyak dan beragam alat musik.

Kadang kala, bila sore atau malam hari, para musisi "Bumi Murakata" itu menggelar pertunjukan musik dangdut gratis.

Siapa saja, asalkan mahir memainkan alat musik, boleh ikut bergabung. Begitu pula dengan penyanyinya, siapa saja boleh menyumbangkan suaranya.

Namun, semua itu gratis alias tidak perlu membayar, seperti bila ingin bernyanyi di arena karaoke. Tapi tentu saja, jangan berharap mendapat bayaran atau honor.

"Kami memang sering main musik rame-rame di sini. Siapa saja boleh berpartisipasi. Mau ikut main musik, bisa. Mau menyanyi juga boleh. Joget, nggak ada yang melarang. Yang penting jangan rusuh. Itu saja," ujar Iming, salah seorang yang sering bergabung di sana.

Meski tidak setiap hari dan kadang tak menentu, biasanya acara itu digelar saat akhir pekan. Paling sering, acara itu digelar saat ada `event` lomba musik dangdut, misalnya.

Bila sedang ada lomba dangdut, entah itu di HST sendiri atau di kota lain, acara itu bisa digelar hampir tiap hari.

Kesempatan itu dijadikan ajang latihan bagi artis-artis tarik suara Kota Barabai, baik yang sudah ngetop atau mereka yang baru mulai menjajaki dunia itu, maupun yang hanya ikut-ikutan saja.

Karena itulah, selain disuguhi alunan musik dan tontonan gratis, bila ingin kenalan, minta tanda tangan atau foto bareng dengan artis-artis dangdut kota itu, cukup datang dan nikmatilah keramahan ala musisi terminal Kota Barabai.

Sambil menikmati hangatnya secangkir kopi panas atau teh manis, dijamin semua suntuk bakal sirna. Hanya saja, jangan berharap mendapat suguhan goyang ngebor, goyang patah-patah atau goyang gergaji di sana.

Karena dilakukan sekedar suka-suka dan terkadang untuk latihan, maka biduan yang menyumbangkan suaranya pun hanya bergoyang ala kadarnya dengan dandanan minimal pula.

Juga jangan kaget bila menyaksikan seorang wanita tengah melantunkan lagu dangdut yang mendayu-dayu dengan hanya mengenakan baju daster, lengkap dengan roll rambut yang bertengger di kepala.

"Menyanyi di sini memang tidak dibayar. Tapi jangan takut tekor karena biasanya ada saja yang memberikan saweran. Bila sedang rame, bisa dapat ratusan ribu," ujar Yanti, artis dangdut asal Birayang, Kecamatan Batang Alai Utara yang malam itu berhasil mengumpulkan saweran sebanyak Rp90 ribu.

Para musisi yang bermain betul-betul beragam. Bukan hanya dari berbagai grup musik tapi para pemainnya dari berbagai `profesi` pula.

Seperti malam itu, sang pemetik gitar ternyata seorang penjual makanan dan minuman di terminal itu juga. Atau sang penabuh gendang yang bila siang bekerja sebagai penjual semangka.

Namun ketika mereka bermain musik bersama, semua melebur menjadi satu, menghilangkan perbedaan yang ada. Dan itu pulalah agaknya yang membedakan Barabai dari kota lain dalam hal berkesenian. (ANT-194/K004)

Oleh Oleh Rusmanadi - (d)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010