Transfer ke Daerah dan Dana Desa dengan alokasi yang cukup besar

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Pusat meminta kepala daerah memanfaatkan semaksimal mungkin dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk mendukung percepatan penurunan stunting.

“Pemerintah telah mengucurkan anggaran, baik melalui mekanisme belanja kementerian/lembaga, maupun melalui mekanisme Transfer ke Daerah dan Dana Desa dengan alokasi yang cukup besar dan ini merupakan tanggung jawab bersama K/L maupun Pemda,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Webinar Sosialisasi Arah Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID), dan APBD 2022 untuk Percepatan Penurunan Stunting di Jakarta, Senin.

Menkeu berharap anggaran tersebut betul-betul bisa menghasilkan dampak penurunan stunting bagi anak-anak Indonesia, dengan saling berkoordinasi dan berkolaborasi karena stunting tidak bisa diselesaikan oleh satu K/L atau satu daerah.

Sri Mulyani memaparkan, TKDD pada APBN 2020 telah mengalokasikan DAK Fisik sebesar Rp1,9 triliun dengan realisasi senilai Rp1,8 triliun untuk bidang air minum, kesehatan, dan sanitasi.

Untuk DAK Non Fisik sebesar Rp2,7 triliun dan memiliki realisasi dengan nilai yang sama untuk Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Stunting dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB).

Sri Mulyani menyebut TKDD tersebut telah disusun dengan desain transfer yang konvergen untuk mengintegrasikan berbagai sumber TKDD dalam penanggulangan stunting melalui penerbitan PMK Nomor 61/PMK.07/2019.

Aturan tersebut dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan intervensi penurunan stunting terintegrasi.

Dengan adanya PMK tersebut, kata Sri Mulyani, maka proses perencanaan dan penganggaran pengalokasian TKDD dapat dilakukan secara terintegrasi antar berbagai sumber TKDD dengan fokus alokasi penanganan stunting yang terkoordinasi.

Sri Mulyani mengungkapkan, pelaksanaan upaya penurunan stunting di daerah masih mengalami beberapa kendala dan tantangan. Salah satu tantangan utama yang perlu mendapatkan perhatian adalah kurangnya koordinasi lintas sektor dan kurangnya pemahaman daerah dan desa atas program-program penanggulangan stunting.

“Untuk itu, peran pemerintah daerah sangat penting untuk terus mendorong program stunting sebagai prioritas utama, dan kepada gubernur/walikota/bupati agar dapat memberikan arahan kepada seluruh dinas dan organisasi perangkat daerah untuk memahami, mengenali, dan berkomitmen untuk menangani stunting ini,” ujarnya.

Baca juga: Presiden minta Korpri kawal dana desa, turunkan "stunting"

Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin minta Babel optimalkan Rp67 miliar atasi kekerdilan

Sementara itu, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden, Suprayoga Hadi mengatakan terkait Dana TKDD, sejak tahun 2018 Pemerintah telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung percepatan penurunan stunting, baik itu DAK Fisik maupun DAK Non Fisik.

Dijelaskan Suprayoga, untuk DAK Fisik, beberapa bidang yang terkait dengan stunting diantaranya adalah DAK Kesehatan, DAK Sanitasi, dan DAK Air Minum.

Sementara untuk DAK Non Fisik, beberapa bidang yang terkait adalah DAK Kesehatan, DAK Keluarga Berencana, dan DAK Pendidikan Anak Usia Dini.

Pemerintah juga menyediakan DAK Non Fisik khusus untuk mendukung konvergensi percepatan penurunan stunting di daerah, melalui BOK Kesehatan.

Namun, lanjut dia, berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan terkait dengan pemanfaatan DAK di tahun 2020, diketahui bahwa banyak daerah yang belum memanfaatkannya secara optimal untuk stunting.

Untuk DAK Fisik, beberapa daerah tidak menyampaikan usulan, bahkan daerah yang sudah mengusulkan pun, seringkali tidak dapat merealisasikan secara optimal.

Berdasarkan evaluasi tersebut, dari 260 kabupaten/kota prioritas stunting tahun 2020, terdapat 102 kabupaten/kota yang tidak memanfaatkan DAK bidang Air Minum dan 111 kabupaten/kota tidak memanfaatkan DAK bidang Sanitasi.

Sedangkan untuk DAK Bidang Kesehatan, masih terdapat 58 kabupaten/kota tak memanfaatkan DAK Sub Bidang Antropometri dan 89 kabupaten/kota belum memanfaatkan DAK Sub Bidang Keluarga Berencana (KB).

DAK Sub Bidang TFC (Therapeutic Feeding Center atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG) menjadi sub bidang yang paling sedikit dimanfaatkan karena baru digunakan oleh 38 dari 260 kabupaten/kota.

Sementara itu, untuk DAK Non Fisik yang secara khusus disediakan untuk mendukung konvergensi penurunan stunting, berdasarkan evaluasi yang dilakukan, ternyata di banyak daerah pemanfatannya hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan, meskipun dana BOK Kesehatan seharusnya dapat digunakan untuk mendukung kegiatan konvergensi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait stunting.

“Oleh karena itu, melalui forum ini saya meminta agar Pemerintah Daerah dapat betul-betul memanfaatkan alokasi DAK yang sudah disediakan untuk mendukung percepatan penurunan stunting,” kata Suprayoga.

Selain DAK, tambah Suprayoga, pemerintah juga menjadikan percepatan penurunan stunting sebagai salah satu indikator dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID).

Diharapkan daerah menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk dapat menujukkan kinerjanya dalam melakukan percepatan penurunan stunting.

“Untuk 154 Kepala Daerah yang menjadi lokasi prioritas pada tahun 2022, kami berharap agar Bapak dan Ibu juga mempunyai komitmen yang kuat untuk melakukan percepatan penurunan stunting,” imbuhnya.

Baca juga: Kemendes PDTT manfaatkan dana desa untuk atasi stunting

Baca juga: Pakar gizi IPB: Maksimalkan posyandu untuk cegah "stunting"

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021