"Karena sistemnya memungkinkan," kata Hasyim menjawab wartawan tentang pro dan kontra pemberian remisi pada koruptor di Jakarta, Sabtu.
Bahwa hal itu bertentangan dengan komitmen pemberantasan korupsi, kata Hasyim, memang tidak bisa disangkal. Namun, persoalannya sistem mengizinkan.
Hanya saja, lanjut Hasyim, seharusnya pemberian remisi kepada koruptor itu mestinya tidak hanya kepada beberapa gelintir orang.
"Beri saja semua terpidana korupsi remisi atau grasi, toh mereka bukan koruptor kakap. Kalau tidak mampu menangkap koruptor kakap, buat apa sok gagah," katanya.
Pada kesempatan itu Hasyim kembali mengingatkan bahwa untuk memberantas korupsi di Indonesia yang sudah sedemikian mengakar tidak akan pernah bisa jika hanya diserahkan kepada lembaga setingkat komisi.
"Harus berbentuk gerakan nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden. Itu baru bisa. Kalau hanya diserahkan pada komisi, maka bisanya hanya menangkap koruptor, itu pun bukan yang jenis kakap," kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Depok tersebut.
Negara-negara yang sukses besar dalam memberantas korupsi, lanjut Hasyim, gerakannya langsung dipimpin pemimpin tertinggi di negara itu, misalnya China.
"Kalau di Hong Kong memang ditangani komisi, tapi skalanya kan kecil. Untuk Indonesia, ya, tidak bisa," katanya.
Untuk menjadikan gerakan nasional pemberantasan korupsi berwibawa, lanjut dia, maka langkah pertama adalah memastikan pemimpin gerakan, dalam hal ini presiden, bersih dari praktik korupsi, dan terus diawasi.
"Seperti di China itu, pemimpinnya memerintahkan disediakan satu peti mati untuknya jika terbukti melakukan korupsi," katanya.(*)
(S024/D007/r009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010