"Pemberian keringanan maupun kebebasan bagi para koruptor telah menciderai rasa keadilan masyarakat, coba bandingkan dengan terpidana lain yang kasusnya lebih ringan seperti maling ayam tetapi justru dihukum lebih berat dibanding hukuman koruptor," katanya di Yogyakarta, Sabtu.
Ia mengatakan pemberian keringanan hukuman tersebut bertolak belakang dari semangat pemberantasan korupsi yang selama ini selalu menjadi jargon politik pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Pemberian grasi maupun remisi di tengah tidak maksimalnya pemberian sanksi hukum terhadap para koruptor tentunya menimbulkan beragam pertanyaan tentang keseriusan presiden untuk memberantas praktik-praktik korupsi yang masih marak terjadi," katanya.
Hasrul mengatakan hal tersebut membuktikan penegakan hukum di negara kita masih sangat lemah dan tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak korupsi.
"Para koruptor pasti paham prinsip `economic analysis of law`, kalau hukuman yang diberikan lebih kecil daripada keuntungan yang didapat, maka korupsi akan dipandang sebagai sebuah jalan yang enak untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, sehingga koruptor yang sudah bebas akan tergoda untuk korupsi lagi," katanya.
Seharusnya menurut Hasrul, para koruptor layak diberi hukuman tambahan yang sifatnya memberatkan misalnya hukuman kerja sosial tanpa mengurangi masa tahanan.
"Namun yang terjadi pemerintah malah membebaskan dengan alasan kemanusiaan, padahal nyata-nyata korupsi adalah kejahatan kemanusiaan," katanya.
Oleh karena itu wajar jika ada penilaian yang mengatakan pemerintah lebih memanusiakan para koruptor dibanding memanusiakan rakyat kecil yang jelas-jelas kehidupannya sedang dilanda kesusahan.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-65, sejumlah narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi antara lain mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, Arthalyta Suryani alias Ayin, mantan anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution, dan mantan Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais.
(ANT/A024)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010