Jakarta (ANTARA News) - Mari kita kembali pada urusan penangkapan pegawai KKP oleh Polisi Diraja Malaysia. Perlu dipahami bahwa Indonesia memang sudah menetapkan garis pangkal kepulauan. Artinya kawasan di dalam garis pangkal itu sudah pasti merupakan wilayah Indonesia.

Meski demikian, Indonesia dan Malaysia (juga Singapura) belum menyepakati batas maritim di kawasan tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ketiga negara di kawasan itu memang berhak atas kawasan laut sesuai dengan UNCLOS. Hanya saja masing-masing tidak bisa mengklaim hak sepenuhnya karena jarak antara ketiganya memang sangat dekat.

Oleh karena itulah, idealnya, harus ada kesepakatan batas maritim untuk membagi secara jelas hak yang tumpang tindih tersebut.

Belum adanya kesepakatan batas maritim membuat belum jelasnya kewenangan atas kawasan laut di daerah tersebut. Jika demikian, mengapa ada pihak yang menangkap pihak lain karena tuduhan melanggar batas wilayah? Batas wilayah mana yang telah dilanggar?

Pertanyaan ini tentu bisa diajukan kepada Malaysia dan Indonesia.

Meskipun belum ada kesepakatan, harus dipahami bahwa masing-masing negara umumnya memiliki garis klaim sepihak. Bisa diduga bahwa garis klaim ini pasti berbeda satu sama lain. Akibatnya, akan ada satu kawasan laut yang menjadi rebutan.

A mengatakan bahwa itu adalah wilayahnya, sedangkan B juga meyakini itu sebagai wilayahnya. Jika warga negara A masuk ke kawasan tersebut maka B akan menuduh itu sebuah pelanggaran, demikian juga sebaliknya.

Jika kawasan yang dimaksud kaya dengan sumber daya alam seperti ikan, minyak, gas dan lain-lain, maka persoalan bisa lebih rumit lagi.

Idealnya, pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya laut baru bisa dilakukan setelah batas maritim disepakati. Meski demikian, bukan tidak mungkin dua atau lebih negara membuat kesepakatan pengelolaan sumber daya sebelum batas maritim ditetapkan.

Selain itu, adalah fakta bahwa suatu negara seringkali sudah melakukan eksplorasi/eksploitasi di satu kawasan yang sesungguhnya merupakan kawasan yang belum ditetapkan batasnya oleh pihak-pihak berkepentingan.

Tentu bisa diduga, tindakan seperti ini rawan menimbulkan perselisihan. Ada indikasi, hal ini yang juga terjadi di sekitar perairan Tanjung Berakit tempat ditangkapnya tujuh nelayan Malaysia dan tiga pegawai KKP Indonesia.

Jika memang di sekitar Perairan Tanjung Berakit terdapat sumber daya yang penting bagi kehidupan masyarakat sekitar maka batas maritim yang tegas dan mengikat sangat diperlukan.

Mengapa proses delimitasi batas maritim di kawasan tersebut belum kunjung selesai?

Ada banyak faktor yang terlibat. Salah satu yang berpengaruh adalah sengketa kedaulatan yang pernah terjadi di kawasan tersebut antara Malaysia dan Singapura.

Kedua negara tersebut memperebutkan tiga pulau/karang yang berada di ujung timur Selat Singapura yaitu Pedra Branca (Batu Puteh), Middle Rock, dan South Ledge.

Ketiga pulau/karang ini disengketakan selama sekitar 30 tahun dan mengakibatkan urusan pembagian laut menjadi tertunda. Kewenangan atas laut memang belum bisa ditentukan sebelum kedaulatan atas wilayah darat (pulau/karang) dipastikan.

Kasus yang berlarut-larut ini baru bisa diselesaikan setelah diputuskan oleh Mahkamah Internasional (International Court if Justice) pada Mei 2008.

Mahkamah Internasional memutuskan Pedra Branca menjadi milik Singapura, Middle Rock adalah kewenangan Malaysia dan South Ledge masih belum ditentukan kepemilikannya.

Indonesia dan Singapura telah memiliki garis batas laut teritorial tetapi belum ada garis batas antara Indonesia dan Malaysia di sebelah timur garis itu.

Garis batas maritim antara Indonesia dan Malaysia ini, idealnya, merupakan kelanjutan garis batas maritim antara Indonesia dan Singapura.

Penyelesaian garis batas ini menunggu keputusan atas kepemilikan terhadap ketiga pulau/karang yang disengketakan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, meskipun Indonesia tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan atas tiga pulau/karang tersebut Indonesia tetap terpengaruh dalam hal kewenangan atas laut.

Ditundanya proses delimitasi batas maritim karena sengketa itu membuat kawasan laut Indonesia di sekitar daerah itu menjadi tidak kunjung jelas, demikian pula kewenangan laut Malaysia dan Singapura. Setelah adanya kejelasan kepemilikan atas ketiga pulau/karang tersebut, delimitasi batas maritim di kawasan tersebut baru bisa dimulai.

Delimitasi di kawasan perairan Tanjung Berakit memang tidak hanya tergantung pada Indonesia dan Malaysia tetapi juga Singapura. Untuk menentukan segmen atau titik batas tertentu bahkan akan diperlukan perundingan trilateral.

Akibatnya, meskipun Indonesia sudah siap berunding, tetap saja proses akan terhenti jika salah satu dari Malaysia dan Singapura belum siap atau belum mau.

Pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa Indonesia siap melakukan perundingan kapan saja, hanya saja Malaysia yang saat ini belum siap.

Kesimpulannya, Indonesia dan Malaysia belum pernah menyepakati adanya batas laut teritorial di perairan Tanjung Berakit sehingga tidak ada dasar untuk mengatakan telah terjadi pelanggaran batas atau pelanggaran kedaulatan.

Jika memang batas maritim belum disepakati, sebagai alternatif kedua negara bisa menyepakati soal tata cara pemanfaatan sumber daya laut yang ada di kawasan tersebut dan terutama perlakuan terhadap mereka yang memasuki kawasan tersebut, termasuk yang terkait penangkapan.

Belum adanya kesepakatan batas maritim ini tentu saja harus menjadi pengetahuan pemerintah kedua belah pihak, aparat penegak hukum, dan terutama masyarakat yang hidupnya bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam di kawasan tersebut.

Yang pasti, ketiadaan kesepakatan ini semestinya tidak menjadikan masyarakat sebagai korban. Kesepakatan untuk tidak menggunakan tembakan, misalnya, adalah salah satu alternatif seperti yang disepakati untuk kawasan Ambalat. (*)

*) Penulis adalah Dosen Teknik Geodesi UGM dan saat ini sedang menyelesaikan jenjang S3 bidang kelautan di Universitas Wollongong, Australia

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010