Hal itu, kata Hasyim di Jakarta, Jumat, jauh lebih efektif daripada menerapkan sanksi tidak dishalatinya jenazah orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Cukuplah kita mendorong KPK agar adil dan berani melawan tekanan, tidak perlu dikaitkan dengan ibadah shalat jenazah," kata Hasyim.
Hasyim membenarkan bahwa Munas Alim Ulama NU pada 2002 menghukumi haram menshalati jenazah koruptor, namun untuk penerapannya harus ekstra hati-hati.
"Karena sistem, tatalaksana, serta perilaku penegak hukum di Indonesia belum tentu optimal berisi keadilan. Masih sangat banyak kerawanan penyalahgunaan hukum," katanya.
Kalau KPK dijadikan sebagai ukuran, banyak orang yang tidak tersentuh KPK, belum lagi praktik mafia hukum yang membungkus kezaliman dengan keadilan.
"Kesalahan administratif dikriminalkan, sementara dedengkot koruptornya lolos karena mampu membagi uang dan `power sharing` secara merata," kata Hasyim.
Oleh karena itu, lanjut pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Depok itu, terkait perlu tidaknya shalat jenazah bagi koruptor ada baiknya kembali pada kitab "Sulam Taufiq dan Safinatunnajah", kitab fikih paling dasar di kalangan NU, yakni ukuran dishalati atau tidaknya jenazah adalah keimanan bukan kriminalitas.
"Kalau kita ingin akurat dalam hukum fikih sosial, terlebih dahulu harus mengamati disiplin ilmu yang lain serta kondisi lapangan," katanya. (S024/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010