Bukan hal yang umum, sektor UMKM melantai di bursa saham, namun bukan hal yang tidak mungkin. ...
Jakarta (ANTARA) - Dunia bisnis terus berkembang, jenis usaha makin beragam, pada saat yang sama harus pandai memilah jaringan. Salah satu sektor penggerak utama ekonomi Indonesia lewat jalur riil adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Layaknya perdagangan klasik, UMKM lazim mempertemukan langsung antara penjual dengan pembeli, meskipun beberapa jenis UMKM juga sebagai distributor dan sektor jasa.
Dalam pertarungan ekonomi global modern, cara-cara kolaborasi kerap ditempuh sebagai jalur tengah di antara kebuntuan. Hal yang dimaksud adalah masuknya bisnis UMKM ke dalam percaturan “pasar modal” melalui penawaran saham perdana atau IPO.
Bukan hal yang umum, sektor UMKM melantai di bursa saham, namun bukan hal yang tidak mungkin. Apalagi di tengah gempuran serangan pandemi COVID-19, disinyalir gairah pasar modal tidak pernah lesu peminat.
“Salah satu bisnis yang sudah sesuai dengan protokol COVID-19 adalah pasar modal, kenapa? Karena antara pembeli dan penjual tidak pernah bertemu secara langsung dan tidak menggunakan uang fisik,” kata CEO VierCorp, Vier Abdul Jamal.
Vier yang juga sebagai konsultan saham menjelaskan bahwa semua bidang bisnis bisa melantai di bursa saham asalkan mampu memenuhi syarat yang diminta.
Membuktikan hal tersebut, saat ini Vier tengah menggodok dan memoles salah satu UMKM produsen es krim skala kecil untuk meningkatkan modalnya melalui pasar saham. “Kita akan lihat satu tahun ke depan nilai perusahaan tersebut menjadi berapa,” kata Vier.
Baca juga: BEI nilai IPO GoTo akan berdampak positif terhadap pasar modal
Beberapa syarat yang diajukan serta dikemukakan Vier bagi UMKM yang ingin IPO adalah di antaranya paling tidak memiliki modal dan aset minimal senilai Rp5 miliar. Kedua, bisnis tersebut sudah sustainable atau bergerak setidaknya 12 bulan atau satu tahun.
Selain itu, perencanaan dan bisnis plan harus jelas, dan yang utama adalah tidak ada lagi rahasia mengenai pengelolaan dana, sebab sudah harus diberitahukan kepada publik.
Sisanya adalah persyaratan administrasi saja dan struktural dalam sebuah perusahaan. Meskipun terlihat sederhana syaratnya, namun secara legalitas perusahaan harus kuat terlebih dulu, meskipun UMKM.
Banyak orang menemui kegagalan dalam melantai di bursa rata-rata karena kurangnya pengetahuan dari pemilik usaha sendiri mengenai saham dan juga tidak ada mentor atau pakar yang memberikan arahan.
“Terjun ke dunia pasar modal, berarti harus siap menjual ‘masa depan’,” tegas Vier. Masa depan yang ia maksud adalah perencanaan bisnis jangka panjang, agar orang-orang mau menanamkan sahamnya.
Baca juga: Bank Mandiri gandeng pelaku fintech, dorong adopsi digital UMKM
Lunasi Utang Negara
Hal lain yang dapat digali dari pasar modal adalah potensi untuk dapat melunasi utang negara.
Vier Abdul Jamal mengatakan pasar modal dapat disinergikan untuk meringankan beban utang luar negeri, yang jumlahnya per akhir April 2019 untuk utang pemerintah dan bank sentral sebesar 189,7 miliar dolar AS, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar 199,6 miliar dolar AS.
“Solusi melunasi utang negara dan swasta dengan menggunakan struktur pasar modal bisa mempersingkat waktu penyelesaian utang. Bahkan, ke depan bisa menjadi sumber pendanaan bagi pemerintah atau swasta,” ujar Vier Abdul Jamal.
Kekuatan pasar modal Indonesia yang memiliki transaksi harian berkisar Rp 8-10 triliun, tak bisa mengabaikan kontribusi BUMN yang sudah bercokol sejak lama di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sebut saja misalnya, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Mandiri (Perseo) Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Keempatnya pada 2017 masuk dalam 10 emiten dengan kapitalisasi terbesar pada 2017 dengan torehan Rp1.443 triliun per 29 Desember 2017.
Kapitalisasi emiten BUMN terus merangkak naik dari tahun ke tahun, jika pada 2014 sebesar Rp 1.339 triliun, melonjak menjadi Rp 1.839 triliun per 29 Desember 2017.
Baca juga: Presiden Jokowi : Tempatkan produk UMKM di etalase terdepan mall
Bila BUMN yang telah melantai di BEI melakukan aksi korporasi dalam penerbitan saham baru Right Issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dengan leverage 10 kali dan rasio 1 : 99 maka puluhan, bahkan ratusan triliun lembar saham dapat dicetak dari proses ini. Dengan asumsi masing – masing BUMN yang listing di Bursa Efek Indonesia menerbitkan 250 triliun saham baru, maka dengan hanya empat perusahaan BUMN yang tercatat saja sudah bisa menerbitkan 1.000 triliun saham.
“Lalu, jika harga per lembar sahamnya naik menjadi dua kali lipat, dapat dipastikan mencetak 2.000 triliun,” papar Vier Abdul Jamal.
Hasil aksi korporasi yang menghasilkan 2.000 triliun saham baru tersebut, tambahnya, dapat dicairkan dengan menjualnya ke pasar untuk diserap investor ritel maupun institusi, negara dapat mengantongi minimal uang tunai Rp2.000 triliun.
Struktur lainnya, jelas Vier Abdul Jamal, adalah saham baru hasil Right Issue/HMETD tersebut dapat dijadikan sebagai Asset Back Securities dalam menerbitkan National Bond yang dapat dijual murah, misalnya Rp50.000/unit.
Untuk memuluskan strategi ini seluruh bank pemerintah dan swasta bisa menjadi agen penjualan ke investor ritel dan institusi. National Bond yang diterbitkan memberikan tenor waktu tertentu, misal tiga atau lima tahun dengan pilihan saat maturity date si pembeli bond boleh memilih menebus bond tersebut kembali dengan uang tunai plus return yang telah dijanjikan diawal.
“Atau, dikonversi ke saham – saham BUMN yang tercatat di BEI dengan capital gain atau deviden dari masing – masing saham tersebut,” katanya.
Baca juga: Menko Marves optimistis 30 juta UMKM "onboarding" pada 2023
National Bond di atas dapat dikategorikan sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Misal, untuk infrastruktur pembangunan Bandara, pelabuhan, dan jalan tol, pemerintah bisa menerbitkan National Infrastructure Development Bond. Contoh lainnya, National Tourism Development Bond dan National Education Development Bond.
Sementara itu dari pihak pengusaha, Presiden Royallindo Expoduta Reza Abdullah mengatakan, dalam menghadapi pandemi saat ini, para pebisnis harus memahami sistem hybrid dalam mempertahankan bisnis mereka.
Setidaknya harus mempersiapkan dua konsep, yaitu perdagangan konvensional dan juga konsep online/digital, dalam hal ini skema pasar modal bisa menjadi pilihan kedua setelah perdagangan konvensional.
“Pandemi ini serba tidak terduga, mungkin kalau kondisi tidak semakin baik, bisa jadi konsep kedua yang bisa bertahan, jika konvensional tidak bisa berputar,” katanya.
Reza sendiri memiliki usaha jasa Meetings, Incentives, Conference dan Exhibitions (MICE). Ia juga kerap bertemu dan mengawali usaha dari skala UMKM, dan pada saat ini harus siapkan banyak terobosan dan loncatan untuk lebih dari sekadar bertahan melalui pandemi.
Podcast Friday Talk
Podcast Friday Talk : UMKM Melantai di Bursa
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021