"Pemberian THR itu merusak mental wartawan dan bisa diindikasikan sebagai bentuk suap, sama halnya dengan uang amplop," kata ketua AJI Gorontalo, Cristopel Paino, Kamis.
Selama ini, lanjut dia, pemberian THR kepada wartawan masih dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dengan dalih sebagai ucapan terima kasih kepada wartawan yang dianggap sebagai mitra pemerintah.
Ironisnya, bagi kalangan wartawan tertentu, pemberian THR ini justru ditunggu-tunggu, bahkan kalau perlu ditagih.
"Situasi itu berlangsung dari tahun ke tahun, dan secara tidak langsung mengancam independensi dan profesionalitas wartawan, sebagaimana yang disyaratkan dalam kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers," tegasnya.
Untuk menyikapi hal tersebut, lanjutnya, AJI di seluruh Indonesia secara konsisten terus berjuang mengupayakan upah yang layak bagi para jurnalis dan menolak pemberian amplop dari narasumber.
"Dengan upah yang layak dan hidup yang sejahtera, maka seorang wartawan dapat bertahan pada sikap independensinya," katanya.
Namun hal tersebut menjadi tidak alasan satu-satunya, karena menurutnya jurnalisme merupakan profesi yang perlu mengedepankan moral.
"Jika memang upah yang diterima masih di bawah standar, maka tidak ada salahnya mencari usaha sambilan lainnya, yang tentuya halal dan tidak mengancam independensi kita," ujarnya.(*)
(T.KR-SHS/E011/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010