Jakarta (ANTARA) - Dokter Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya, Nareswari Imanadha Cininta Marcianora, mengemukakan risiko kematian ibu dan anak akibat faktor pre-eklampsia (kondisi hipertensi yang terjadi pada saat kehamilan) dapat ditekan melalui pemeriksaan dini kondisi kandungan.
"Hingga saat ini belum ditemukan terapi ataupun obat untuk pre-eklampsia," katanya dalam agenda Media Briefing virtual dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya mengenai Hari Pre-eklampsia (22 Mei 2021), Jumat.
Melansir data International Society for the Study of Hypertention in Pregnancy dan Pre-eclampsia Foundation, setiap tahunnya 76 ribu ibu dan 500 ribu bayi meninggal dunia karena pre-eklampsia di masa kehamilan.
Menurut Nareswari, pre-eklampsia dapat diteliti melalui gejala seperti riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil, riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya, menderita diabetes, gangguan ginjal, atau autoimun seperti lupus dan antifosfolipid, obesitas, hamil pertama kali, hamil kembar dua atau lebih, jarak kehamilan terakhir kurang dari lima tahun, berusia di atas 40 tahun dan riwayat keluarga menderita pre-eklampsia.
Baca juga: Aspirin dapat bantu cegah preeklampsia
Baca juga: Preeklampsia, kondisi berbahaya penyebab tertinggi kematian ibu hamil
"Ibu hamil yang mengalami gejala tersebut baiknya segera melakukan skrining risiko melalui tenaga kesehatan tempat biasa melakukan pemeriksaan kehamilan," katanya.
Kalaupun gejala-gejala tersebut tidak dirasakan, maka sebagai upaya pencegahan, ibu hamil tetap harus rutin mengecek tekanan darah secara rutin agar potensi hipertensi bisa dideteksi sejak dini.
"Kemudian jika ibu hamil mengeluhkan pusing, pandangan kabur, juga ngeri ulu hati dan sesak, maka kemungkinan besar kehamilannya mengalami pre-eklampsia berat yang penanganannya harus dilakukan persalinan," ujarnya.
Jika usia kehamilan masih dini, maka pre-eklampsia juga akan memicu pramaturitas yang merupakan faktor utama tingginya angka kematian bayi.
Selain melakukan pemeriksaan rutin guna mendeteksi dini gejala dan faktor risiko yang ada, maka tak kalah penting ialah pemahaman dan pengetahuan memadai oleh ibu hamil juga pasangan subur yang tengah mempersiapkan kehamilan.
"Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian Ibu di Indonesia,” kata Ketua Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya Agus Sulistyono.
Pre-eklampsia merupakan kondisi hipertensi yang terjadi pada saat kehamilan. Pre-eklampsia sendiri merupakan kondisi sebelum terjadinya eklampsia yang merupakan komplikasi menakutkan dari pre-eklampsia.
Meskipun penyebab pasti belum dapat dijelaskan, kata Agus, namun pre-eklampsia sering dihubungkan dengan adanya permasalahan plasenta. Oleh karena itu, pre-eklampsia terjadi pada paruh akhir kehamilan di atas 20 pekan atau setelah plasenta terbentuk di dalam rahim hingga enam pekan setelah melahirkan.*
Baca juga: Pre-eklampsia berbeda dengan hipertensi
Baca juga: Dosen UNS lakukan penelitian minimalisasi preeklampsia
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021