Jakarta (ANTARA) - Tepat hari ini, Indonesia tengah merayakan Hari Reformasi ke-23 tahun. Ialah suatu peringatan yang mesti membuka mata khalayak serta menjadi alarm pengingat bagi setiap individu bahwa segala capaian reformasi saat ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui ragam upaya dan pengorbanan anak bangsa.
Lahirnya reformasi tidak pula terlepas dari protes masyarakat sipil dan mahasiswa atas 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto menahkodai Indonesia yang dinilai otoriter. Suara-suara kritis kala itu dibungkam dan kebebasan pers dipaksa hening tak bersuara. Bahkan tiap-tiap mereka yang bersorak lantang, pasang badan di garis depan malah diterjang peluru tajam seakan nyawa tiada harganya.
Beruntungnya, aksi mahasiswa dan masyarakat sipil tidak sia-sia. Semangat mereka untuk keluar, membebaskan diri dari kungkungan otoriter sang jenderal terbayar lunas dengan lahirnya reformasi.
Namun pertanyaannya, setelah 23 tahun berlalu, apakah sejatinya Indonesia benar-benar telah menikmati apa itu reformasi? Apalagi dengan adanya anggapan-anggapan yang berseliweran di Bumi Pertiwi bahwa hidup di era 4.0 ini sama halnya dengan kembali ke masa Orde Baru.
Tentu saja tidak semua orang atau pihak sepakat dengan pandangan tersebut. Akan tetapi, jika merujuk pada lembaga think tank (wadah pemikir) The Economist Intelligence Unit, selama tiga tahun terakhir menempatkan Indonesia sebagai negara kategori demokrasi yang cacat dengan kisaran skor 6,3 hingga 6,4.
Untuk level ASEAN, angka demokrasi Indonesia berada di bawah Malaysia dan Filipina. Sedangkan di tingkat global pada 2020 posisi Indonesia lebih buruk lagi yakni tertahan pada urutan ke-64 dari sekitar 180 negara yang dirilis oleh lembaga yang berkantor di London, Inggris tersebut.
"Dibandingkan negara Asia yang lain, kita jauh tertinggal misalnya Korea Selatan peringkat ke-25," kata Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Firman Noor.
Baca juga: Sri Mulyani bertekad wujudkan reformasi struktural bidang pendidikan
Hal ini tentu mengejutkan. Sebab, pada hakikatnya Indonesia dan Korea Selatan sama-sama belajar tentang demokrasi. Jika Korea Selatan memiliki Park Chung Hee, maka Indonesia mempunyai Soeharto.
Jika dulunya negeri ginseng itu dikuasai militer, maka hal itu tidak ada bedanya dengan Tanah Air yang juga demikian. Bahkan, kedua negara juga sama-sama menggunakan sistem presidensial dan banyak partai.
Tidak hanya itu, catatan The Economist Intellegence Unit turut merilis Timor Leste jauh lebih baik dari Indonesia dari segi politik atau demokrasinya. Hal tersebut juga sejalan dengan laporan Freedom House, salah satu lembaga pemerhati demokrasi yang cukup terkenal di dunia menempatkan Indonesia sebagai negara setengah bebas atau "partly free" dengan perolehan skor 61 dari nilai tertinggi 100.
Kemudian, untuk "political rights" atau hak politik, Indonesia mendapatkan skor 30 dari 40 nilai tertinggi serta "civil liberties" atau kebebasan sipil memperoleh skor 31 dari 60 nilai tertinggi.
Data-data tersebut secara tidak langsung menegaskan bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki meskipun reformasi telah berlangsung selama 23 tahun. Sebab, jangan sampai roh reformasi yang telah diperjuangkan hingga empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat terjangan peluru aparat menjadi sia-sia belaka.
Selain disoroti oleh The Economist Intellegence Unit serta lembaga Freedom House, saat ini semakin banyak kalangan pemerhati Indonesia yang secara terbuka menilai ada tendensi atau kecenderungan pemerintah mengarah pada sistem otoriter. Hal itu sejalan dengan kajian Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang menunjukkan situasi Indonesia sekarang memang memiliki kecenderungan pada pemerintahan yang otoriter.
"Komnas HAM juga mengeluarkan survei dimana sekitar 36 persen masyarakat semakin khawatir berbicara tentang kebebasan politik atau berekspresi," kata Firman Noor.
Dengan kata lain, sebanyak 36 persen dari masyarakat Indonesia yang disurvei tersebut merasa takut atau khawatir menyampaikan opini melalui media sosial.
Di sisi lain, sebenarnya anggapan Indonesia semakin mundur dalam hal berdemokrasi juga tidak terlepas dari perspektif seluruh modalitas politik dikuasai secara berlebihan oleh pemegang tampuk kekuasaan.
Hal itu tercermin dari konglomerat, polisi, kejaksaan, media massa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pendengung "buzzer" hingga masyarakat yang umumnya berada pada lingkaran pemegang kekuasaan. Belum lagi dengan tambahan kekuatan politik di Senayan dimana kursi para perwakilan rakyat didominasi oleh partai-partai koalisi pemerintahan.
"Jadi saya kira berkelimpahan kekuasaan inilah yang menjadi salah satu pemantik yang nyaris tidak ada saingan dan kontrol," ujarnya.
Tidak cukup sampai di situ, ia juga menyoroti adanya upaya penyeragaman cara berpikir di sejumlah instansi pemerintahan. Sebagai contoh ialah di LIPI dan KPK yang ingin diseragamkan melalui pengarahan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Penyeragaman pemikiran atau penempatan ideologi negara yang pancasila tersebut hampir serupa dengan Orde Baru dimana ideologi saat itu dijadikan kartu as sebagai legitimasi pemerintahan.
Bahkan, cara-cara itu dianggap sebagai upaya menyingkirkan mereka yang dianggap kritis. Hal itu terbukti dengan adanya 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos wawasan kebangsaan terindikasi berseberangan dengan pimpinan.
Baca juga: Pengamat: "Civil society" kunci optimalisasi agenda reformasi
Kebebasan berpendapat
Salah satu buah dari reformasi ialah kebebasan berpendapat. Dengan lahirnya reformasi, sudah pasti masyarakat mendambakan suatu kebebasan berpikir dimana mereka dapat menuangkan ide serta pemikiran tanpa dihantui kecemasan atas hal apa saja yang diutarakan.
Namun, pada kondisi terkini salah satu hasil dari reformasi itu seakan-akan mulai menghilang. Masyarakat merasa kebebasan yang sesungguhnya tidak dapat tersalurkan lagi dikarenakan terdapat sanksi atau hukum yang terus mengintai.
"Saya mengutip pernyataan Kwik Kian Gie yang merasa gelisah karena situasi jauh lebih buruk dari Orde Baru soal mengutarakan pemikiran," ujar dia.
Terkait polemik kebebasan berpendapat, salah satu kekhawatiran itu sebenarnya merujuk pada pasal-pasal karet yang termuat dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Padahal, seharusnya kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat di dunia maya maupun secara langsung tidak mesti ditanggapi dengan tindakan represif aparat atau upaya menjebloskan mereka yang terlibat ke jeruji besi menggunakan UU ITE.
Bak pepatah kuno Belanda "leiden is lijden" yang memiliki arti memimpin itu menderita. Mendalami kata-kata itu, seharusnya setiap penyelenggara negara atau pemegang kekuasaan memahami dan mengerti bahwa kedudukannya harus tahan terhadap kritik, bukan malah menyerang balik dengan kekuasaan yang dipegang.
Lebih buruk lagi, jika penggunaan UU ITE semakin jorjoran, maka masyarakat akan malas. Bahkan, semangat menuangkan pemikiran bisa ikut-ikutan mati. Padahal, kritik serta masukan dari rakyat merupakan bagian penting atau inti dari sebuah demokrasi.
Oleh sebab itu, jika pemerintah ke depannya ingin membuat suatu produk hukum berupa undang-undang, maka pelibatan masyarakat sipil harus lebih masif dan bertahap. Sebab, pembuatannya tidak dapat kejar tayang begitu saja sebagaimana yang terjadi dengan Omnibus Law.
Baca juga: Menkeu: Reformasi perpajakan dilanjutkan, fokus penyelarasan sistem
Kembali ke rakyat
Dengan beragam polemik tatanan demokrasi saat ini, belum lagi persoalan pandemi COVID-19 yang belum reda, maka jalan kembali pada rakyat merupakan hal mutlak. Ini amat penting jika ingin roh dan semangat reformasi tetap ada di Tanah Air.
"Pemerintah harus kembali ke rakyat bukan ke oligarki," katanya.
Perspektif itu muncul tidak terlepas dari sejumlah aksi dan reaksi yang timbul di negara ini beberapa waktu terakhir. Sebagai contoh ialah penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law dan sebagainya.
Adanya pertentangan antara kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan keinginan khalayak bisa jadi muncul karena memang ide pembuatan produk hukum tersebut bukan sepenuhnya datang dari rakyat, namun hanya untuk kepentingan segelintir kelompok saja.
Padahal perlu dipahami kembali bahwa eksistensi dan keberadaan para elite politik tidak terlepas dan tidak bisa dipungkiri merupakan dukungan dari rakyat. Sehingga, kembali kepada rakyat merupakan pilihan wajib yang saat ini mesti dilakukan sebelum roh reformasi 23 tahun itu benar-benar lenyap.
Selain itu, pakar kelahiran 42 tahun silam itu menekankan agar elite politik dan pemangku kepentingan mendengarkan kemauan masyarakat dengan sesungguhnya. Jika ada suatu kebijakan yang ingin dibuat dan berpotensi terjadi reaksi atau protes, maka sebaiknya ditunda dulu.
Dengan kata lain, pemerintah harus bisa lebih sensitif terhadap gejolak-gejolak sosial yang terjadi. Sebab, jangan sampai peristiwa reformasi bertahun-tahun silam itu kembali terulang.
Baca juga: Moeldoko sebut Wimar tokoh reformis berpulang jelang hari reformasi
Revisi UU ITE
Masih segar dalam ingatan kasus yang menjerat Baiq Nuril Maknun, guru perempuan yang mendapat pelecehan seksual secara verbal dari kepala sekolah tempat ia mengajar malah dihukum karena merekam percakapan mesum pimpinannya.
Secara jelas ada bukti dan fakta bahwa Baiq Nuril mendapat perlakuan atau pelecehan seksual, tetapi malah menjadi pelaku yang terjerat UU ITE. Hal itu terjadi karena produk hukum tersebut memberikan ruang interpretasi bagi pihak terlapor karena merasa dirugikan dan bisa melaporkan balik korban.
"Jadi ini terbalik-balik, harusnya korban yang dilindungi malah menjadi orang yang salah," kata pemerhati budaya dan komunikasi digital sekaligus pendiri Literos.org Dr Firman Kurniawan.
Dengan adanya ruang yang memungkinkan pihak tertentu "membalikkan" keadaan, keberadaan UU ITE dinilai banyak merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, penting sekali merevisi undang-undang tersebut.
Tujuannya tentu selaras dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak 23 tahun berlalu.
"Sangat perlu direvisi, karena ribuan orang sudah jadi korban," katanya.
Hingga kini tidak terhitung secara pasti jumlah masyarakat yang sudah menjadi "korban" UU nomor 11 tahun 2008 itu. Desakan revisi undang-undang tersebut terus digaungkan.
Secara umum, UU ITE terutama pasal-pasal yang dianggap pasal karet sejatinya sudah beberapa kali digugat ke MK. Sayangnya, dari sekian kali gugatan dilayangkan, setiap itu pula hakim MK menolak. Sebagai contoh ialah pasal 27 ayat 3 yang beberapa kali digugat oleh masyarakat ke MK.
Dengan banyak korban dari interpretasi yang membuka ruang lain dari UU ITE, maka sudah seharusnya pemerintah menjadikan revisi UU ITE sebagai suatu prioritas. Hal tersebut menjadi kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat sesuai dengan semangat undang-undang itu dibuat.
Apalagi, kini sudah hampir seperempat abad Indonesia menikmati reformasi. Tetapi, jalan panjang mengisi semangat reformasi yang sesungguhnya ternyata masih cukup panjang. Harapannya, generasi penerus bangsa dapat mewujudkan cita-cita reformasi yang sesuai dengan hakikatnya. Selamat memperingati Hari Reformasi.
Baca juga: Rektor: Empat mahasiswa Trisakti yang gugur syuhada reformasi
Baca juga: Maraknya politik identitas penyumbang penurunan indeks demokrasi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021