Jakarta (ANTARA) - Tim kuasa hukum Jumhur Hidayat mengatakan keterangan ahli hukum informasi dan transaksi elektronik (ITE) membantah dakwaan yang diberikan oleh jaksa terhadap terdakwa dalam persidangan.

Tim kuasa hukum Jumhur, yang menamakan kelompoknya sebagai Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menghadirkan Koordinator Hukum dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia Josua Sitompul, sebagai ahli ITE dalam persidangan kasus penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis.

“Ahli Kominfo ini mematahkan seluruh dakwaan jaksa, terutama terkait Pasal 28 ayat (2) (UU ITE, Red). [...] (Dari pendapat ahli, Red) kami bisa mengambil kesimpulan tidak terpenuhi unsur (pidana) Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut dalam perkara ini,” kata Koordinator TAUD Oky Wiratama saat ditemui usai sidang.

Dalam pendapatnya yang disampaikan depan Majelis Hakim, Josua menerangkan pemerintah, buruh, pengusaha, lembaga-lembaga pemerintahan bukan termasuk kelompok golongan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

“Negara itu bukan dari suku, agama, golongan. Pemerintah bukan bagian dari golongan, karena golongan yang dimaksud (UU ITE) ada di dalam masyarakat umum. Pemerintah itu adalah penguasa. Penguasa itu bukan golongan,” kata Josua menjawab pertanyaan kuasa hukum.

Sementara itu, Josua juga mengomentari kata RRC dalam cuitan Jumhur yang menjadi sumber dakwaan jaksa.

Baca juga: Jaksa tolak keterangan ahli ITE dari kuasa hukum Jumhur Hidayat
Baca juga: Jaksa tolak keterangan dua saksi fakta kubu Jumhur Hidayat
Baca juga: Dua saksi fakta tegaskan demo tolak Omnibus Law tak diprovokasi Jumhur

Menurut dia, RRC merupakan negara bukan golongan. Namun, jika seseorang berbicara dalam konteks warna kulit atau suku di negara tertentu, masih ada kemungkinan maksud ungkapannya itu merujuk pada suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).

Jumhur Hidayat, petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus wakil ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) didakwa oleh jaksa telah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.

Terkait dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dakwaan jaksa itu bersumber pada cuitan Jumhur di media sosial Twitter tertanggal 7 Oktober 2020. Isi cuitan itu, “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.

Dalam cuitannya, Jumhur turut mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.

Jaksa dalam dakwaannya menuduh Jumhur berusaha menciptakan kebencian antargolongan pengusaha dan buruh lewat cuitannya di Twitter itu.

Namun, menurut keterangan Jumhur, yang kerap disampaikan pada berbagai kesempatan, cuitannya itu merupakan murni kritik terhadap pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Oleh karena itu, usai persidangan, Jumhur mengapresiasi pendapat ahli yang menurut dia objektif.

“Dia menyampaikan menurut keahliannya dan menurut kami memang sangat objektif. Dia tidak ada unsur dari pihak mana, asal-usulnya dari ana, dia apa adanya saja,” kata Jumhur kepada wartawan.

“Mudah-mudahan ke depan objektivitas seperti ini bisa juga terjadi lebih banyak tidak hanya di Kominfo tetapi di semua kementerian/lembaga, karena objektivitas sangat penting untuk berjalannya demokrasi dengan lebih berkualitas,” ujar dia menambahkan.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021