Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo berpendapat maraknya politik identitas yang berujung pada tindakan intoleransi yang disertai ujaran kebencian menjadi penyumbang turunnya Indeks Demokrasi Indonesia.

"Politik identitas tersebut memuncak mewarnai momentum politik sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, Pemilu 2019, hingga pasca pemilu," kata Karyono di Jakarta, Selasa.

The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengukur pelaksanaan kinerja demokrasi negara-negara di dunia pada 2020 menunjukkan skor Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan.

Indeks Demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.3.

Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya berada di angka 6.48.

Peringkat Indonesia dii kawasan Asia Tenggara berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.

Penurunan Indeks Demokrasi Indonesia juga disebabkan adanya ancaman terhadap kebebasan sipil hingga tindakan kekerasan.

Baca juga: Politik identitas "menggurita" akibatkan indeks demokrasi turun

Tren menurunnya indeks demokrasi di Indonesia, kata Karyono, menjadi salah satu tantangan reformasi yang harus segera diselesaikan.

"Penguatan sistem demokrasi yang menjadi salah satu tujuan reformasi masih menemui sejumlah kendala," ucapnya.

Sejumlah indikator masih menunjukkan skor yang masih buruk, antara lain masalah kebebasan sipil dan pluralisme.

Hal itu bisa dilihat dari angka Indek Demokrasi Indonesia (IDI) berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2018–2019 yang menunjukkan penurunan pada aspek Kebebasan Sipil sebesar 1,26 poin (dari 78,46 menjadi 77,20).

Selain itu, aspek yang paling parah, yang skalanya masih di bawah 60 adalah masalah ancaman maupun penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, dengan skala 57,35.

Dalam kesempatan itu, Karyono menyebutkan, ancaman serius terhadap demokrasi muncul dari ormas islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menilai sistem pemerintahan demokrasi dan Pancasila adalah thaghut.

Bahkan, kata dia, HTI secara terang-terangan ingin mengganti sistem pemerintahan demokrasi yang berdasarkan Pancasila dengan sistem khilafah.

Baca juga: Pengamat: Wacana koalisi partai Islam jangan "jual" politik identitas

Pada saat yang sama Front Pembela Islam (FPI) kerap dituding sebagai biang kerok ormas berpaham radikal-ekstrem yang menebarkan paham intoleran dan tak jarang menempuh jalan kekerasan sebagai metode perjuangannya.

Akhirnya, kata dia, dua ormas islam tersebut dinyatakan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah karena bertentangan dengan undang-undang ormas.

Namun demikian, langkah pemerintah dipandang oleh sebagian pihak sebagai tindakan yang mengancam kebebasan berpendapat dan berserikat.

"Masih ada pro dan kontra. Perbedaan pandangan ini menunjukkan anomali. Di satu sisi pemerintah dinilai menabrak demokrasi di sisi lain justru menyelamatkan demokrasi dari ancaman kelompok tertentu," kata Karyono.

Perbedaan pandangan terkait larangan dua ormas tersebut, tambah dia, tentu sulit dihindari karena perbedaan pendapat itu adalah bagian dari demokrasi itu sendiri.

"Tetapi, pelaksanaan demokrasi harus berjalan di atas rel konstitusi dan regulasi agar demokrasi tidak memakan anak kandungnya sendiri. Dengan kata lain, aturan diperlukan agar demokrasi berjalan dengan baik," demikian Karyono Wibowo.

Baca juga: Kapolri baru dan simbol perlawanan pada politik identitas

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021