Penahanan terhadap kliennya itu tidak sah dan tidak berdasar atas hukumJakarta (ANTARA) - Mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar mengeluarkannya dari Rumah Tahanan Negara Kelas I Cabang KPK RI.
Permintaan tersebut disampaikan oleh Agus Dwiwarsono selaku kuasa hukum RJ Lino saat membacakan permohonan praperadilan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.
Ia menyebut proses penyidikan dan penahanan terhadap kliennya itu tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
"Memerintahkan termohon (KPK) untuk mengeluarkan pemohon (RJ Lino) dari Rumah Tahanan Negara Kelas I Cabang KPK RI," kata Agus.
Agus menjelaskan bahwa Sprindik Nomor Sprin-Dik-55/01/12/2015 dikeluarkan pada 15 Desember 2015, sementara penahanan terhadap kliennya dilakukan pada 26 Maret 2021.
"Berarti KPK terbitkan SPDP sejak dimulainya proses penyidikan, yang dihitung sampai dengan dilakukan penahanan terhadap RJ Lino pada tanggal 26 Maret 2021 adalah 5 tahun 1 bulan 10 hari," ujar Agus.
Dia mengatakan selama rentang waktu tersebut, kliennya baru satu kali diperiksa sebagai tersangka pada 5 Februari 2016. Selanjutnya, setelah ditahan pada 26 Maret 2021 baru dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka dengan didampingi penasihat hukum, dan sampai saat ini perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Fakta tersebut, lanjut dia, menunjukkan bahwa KPK tidak melaksanakan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) jo Pasal 70C UU KPK, karena syarat waktu penghitungan 2 tahun merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan (SPDP), penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan telah terlewati, dan KPK tidak menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap RJ Lino.
"Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka, maka cukup alasan hukumnya bagi hakim praperadilan untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan praperadilan dari RJ Lino," kata Agus.
Selain itu, ia juga menyinggung soal kerugian keuangan dalam pemeliharaan tiga unit "Quay Container Crane" (QCC) yang hanya 22.828,94 dolar AS atau Rp329.518.755 dalam kasus RJ Lino tersebut.
Hal tersebut berdasarkan laporan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka penghitungan kerugian negara pengadaan QCC tahun 2010 sebagaimana surat BPK tanggal 20 Oktober 2020.
"Maka sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf b dan ayat (2) jo Pasal 70C UU No 19 Tahun 2019, KPK hanya berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar serta dalam hal kerugian negara di bawah Rp1 miliar wajib menyerahkan penyidikan, penuntutan kepada Kepolisian dan/atau Kejaksaan," katanya pula.
Sebelumnya, RJ Lino telah ditahan KPK pada 26 Maret 2021, setelah ditetapkan dan diumumkan sebagai tersangka pada Desember 2015.
Akibat perbuatan tersangka RJ Lino, KPK telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan tiga unit QCC tersebut sebesar 22.828,94 dolar AS.
Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang tiga unit QCC tersebut, BPK tidak menghitung nilai kerugian negara yang pasti, karena bukti pengeluaran riil Hua Dong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM) atas pembangunan dan pengiriman tiga unit QCC tidak diperoleh.
Adapun sidang praperadilan RJ Lino kembali digelar pada 19 Mei 2021 dengan agenda jawaban dari termohon (KPK).
Baca juga: Sidang praperadilan RJ Lino ditunda hingga dua pekan
Baca juga: KPK dalami peran RJ Lino terkait proses pengadaan tiga unit QCC
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021