Jakarta (ANTARA News) - Wartawati Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning menggelar pameran foto Jugun Ianfu tentang para perempuan Indonesia yang dijadikan penghibur bagi angkatan perang Jepang pada masa Perang Dunia ke-dua di Indonesia.
"Saya (Janssen) dan Banning pada tahun 2007 memutuskan untuk merekam pengalaman pribadi para perempuan penghibur di Indonesia melalui potret, gambar, dan tulisan untuk mematahkan kebisuan korban," kata Janssen kepada pers, di Jakarta, Kamis.
Acara pameran foto Jugun Ianfu yang di gelar di kantor Erasmus Huis kawasan Kuningan, Jakarta menampilkan foto 18 mantan Jugun Ianfu menceritakan kisah masa lalu yang disertai tabu yang melingkupi mereka selama ini.
Kisah-kisah singkat yang ditampilkan menceritakan nasib para mantan Jugun Ianfu memberikan gambaran yang sangat menyedihkan tentang sejarah kelam para korban.
Menurut Janssen, proyek merekam pengalaman para perempuan penghibur di Indonesia lebih difokuskan kepada para Jugun Ianfu Indonesia.
Janssen mengungkapkan, riset sejarah di Indonesia hampir tidak menaruh memperhatikan para korban pendudukan Jepang di Indonesia terutama para korban perempuan.
"Para Jugun Ianfu selama 65 tahun bertahan dengan menyimpan rahasia kepedihan," ungkap Janssen.
Kata Jansen, rasa malu, stigma, dan rasa bersalah telah membungkam para wanita Jugun Ianfu.
Jansen juga mengatakan, sementara para korban menghadapi dampak fisik dan emosional, para pelaku Jepang bisa bebas begitu saja.
"Pada waktu itu bagi militer Jepang sistem perempuan penghibur adalah sebuah kebijakan pragmatis saja," ungkap Janssen.
Selanjutnya, Janssen mengungkapkan, sistem perempuan penghibur bagi militer Jepang atau bordil militer sebagai cara efektif untuk meningkatkan semangat pasukan, memelihara hukum dan tatanan, serta menghindari perkosaan serta penyakit kelamin.
"Diperkirakan 50 ribu dan 200 ribu Jugun Ianfu termasuk 5 ribu sampai 20 ribu perempuan Indonesia telah dipaksa masuk bordil militer," ungkap Janssen.
Menurut Janssen, bagi perempuan Indonesia menjadi Jugun Ianfu adalah sebuah mimpi buruk.
"Banyak diantara Jugun Ianfu yang masih berusia dibawah umur, beberapa baru berusia 11, 12, atau 13 tahun," ungkap Janssen.
Janssen mengungkapkan, menemukan para mantan Jugun Ianfu di Indonesia tidaklah mudah.
"Kami (Janssen dan Banning) telah menjelajahi pulau Jawa, Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Timor Barat dan total mewawancarai serta memotret sekitar 50 perempuan," ungkap Janssen.
Menurut Janssen, para mantan Jugun Ianfu tidak menghendaki anak cucunya menjadi korban kekerasan seksual.
Janssen juga mengungkapkan, para mantan Jugun Ianfu tidak hanya butuh permohonan maaf tetapi juga kompensasi finansial yang telah bertahun-tahun dijanjikan oleh kelompok-kelompok advokasi.
"Dari semua hal ini mereka(Jugun Ianfu) mendulang kekuatan untuk mengatasi rasa malu dan mengangkat muka pada dunia," ungkap Janssen.
Pendidikan Perempuan
Dalam kesempatan yang sama Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Dewi Motik Pramono mengatakan, seorang perempuan sangat perlu mendapatkan pendidikan yang layak agar tidak mudah dibodohi orang lain.
"Pendidikan menjadi dasar yang penting agar para perempuan tidak mudah dipermainkan," ungkap Dewi.
Dewi juga mengungkapkan, jaringan kerja juga menjadi aspek yang penting selain pendidikan sehingga para perempuan tidak hanya bergantung kepada pemerintah saja dan mampu hidup mandiri.
"Pemerintah melalui Kementrian Sosial perlu memberikan bantuan kepada para perempuan korban perang seperti para Jugun Ianfu," ungkap Dewi. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010