Bangli (ANTARA News) - Pura Dalem Jawa atau Pura Dalem Langgar di Desa Bunutin, Bangli merupakan simbol kerukunan umat Muslim dengan Hindu di Bali. "Pura Langgar menjadi jejak bagaimana antara Hindu dan Islam di Bali tidak memiliki jarak. Sepintas, pura seluas sekitar satu hektar yang dikelilingi kolam itu tidak berbeda dengan pura di Bali," kata Penglingsir Pura Dalem Jawa, Ida I Dewa Ketut Raka kepada ANTARA.
Penglingsir adalah orang yang dituakan, yang bertanggung jawab atas puri, sebutan untuk keraton atau istana raja di Bali.
Namun, lanjut Ida I Dewa Ketut Raka, kalau diamati lebih teliti, di pura itu terdapat bangunan bersegi empat, yang berada di tempat utama atau tertinggi di pura tersebut, yang disebut "utamaning mandala.
Ciri khas lainnya yang menunjukkan kerukunan umat Muslim dan Hindu di Pura Dalem Jawa, katanya terdapat pada bangunan itu berundak dua, berpintu empat, serta atapnya bertingkat dua.
"Konon, dua tingkat atap dan dua undak itu melambangkan syariat dan tarekat dalam Islam. Syariat adalah hukum yang mengatur tata kehidupan dan peribadatan umat, sedangkan tarekat adalah jalan menuju Tuhan," ucapnya.
Ia menambahkan, meskipun bernama langgar, namun pura ini tidak digunakan umat Islam untuk shalat atau kegiatan ke Islaman lainnya. Saat ini, Langgar itu masih tetap digunakan umat Hindu yang melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur, jelasnya.
Bukti sejarah kerukunan, sambung Ketut Raka tak hanya di wujudkan dalam bangunan Pura, pada prosesi upacara juga terlihat kental untuk menghormati kerukunan untuk ke dua umat beragama itu.
"Salah satu isi sesajen atau banten tidak diperkenankan menggunakan daging babi. Daging babi, yang terbiasa dimakan warga Hindu tapi haram bagi Muslim, pada kegiatan itu diganti dengan daging itik atau ayam," ucapnya.
Selain sesajen itu, umat Hindu di pura ini juga mengenal istilah kurban. Kalau di Islam, kurban disembelih saat Hari Raya Idul Adha.
"Kalau di Pura Langgar upacara kurban itu dilaksanakan sekitar Februari (Tilem sasih Kawulu. Yang disebut dengan upacara titimamah dengan menggunakan pakelem berupa godel bang (merah)," ujarnya.
Ia menjelaskan, saat ini, banyak warga Muslim yang datang ke pura tersebut menuturkan bahwa mereka mendapatkan cerita dari leluhurnya bahwa ada pura yang menunjukkan adanya toleransi umat beragama di daerah itu.
"Pernah ada juga tamu dari Madura yang datang ke pura ini mengatakan, ia diberi tahu oleh kakeknya yang sudah berusia di atas 100 tahun. Dia bercerita bahwa kakeknya berpesan, kalau ke Bali, dia harus mengunjungi Pura Langgar," katanya.
Pura ini, kata Ketut Raka adalah tempat yang memberi pencerahan mengenai toleransi umat beragama yang lahir secara murni. Kalau sekarang orang bicara toleransi, mungkin karena memang menjadi keharusan dalam kerangka NKRI Tapi di sini memang murni, katanya.
Dia mengakui, kemungkinan ada umat Hindu dan mungkin umat Islam yang tidak setuju dengan keberadaan langgar di pura itu. "Namun kami tidak menganggap beban. Kami menganggap itu sebagai berkah karena pura ini telah menjadi simbol perdamaian. Ini realitas yang tidak bisa dipungkiri," jelasnya.
Selain itu dari segi posisi, Pura ini dikelilingi oleh kolam, mirip dengan yang ada di Pura Taman Ayun, Mengwi Badung. Bangunan, lokasi dan apa yang ada di dalam pura ini semuanya memiliki dasar yang kuat. Semuanya itu didasari pada sebuah prasasti yang ada di Pura ini.
"Dengan didapatkannya Prasasti ini di Puri Gelgel pada tahun 1970 lalu rasa sreg untuk tetap melestarikannya," katanya.
Selain itu ada juga bukti-bukti otentik mengenai sejarah perkembangan pura ini yang dibuat sekitar abad 16 silam.(*)
(ANT-199/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010