Mereka bahkan sama sekali tidak canggung menerima tamu laki-laki dan melakukan transaksi meski pemerintah daerah setempat telah meminta mereka menghentikan aktivitas selama bulan suci Ramadhan.
"Tidak masalah asal tidak ada petugas. Tapi kalau ada razia ya terpaksa berhenti sampai situasi aman," kata Maela (42), salah seorang penghuni lokalisasi terselubung di bantaran Sungai Brantas asal Kampak, Kabupaten Trenggalek, Rabu malam.
Kenekatan tersebut, lanjut Maela, terpaksa mereka lakukan dengan dalih tidak memiliki pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup selama bulan puasa.
Padahal, laiknya warga lain yang juga ikut merayakan lebaran bulan depan, dirinya harus mempersiapkan kebutuhan jajanan rumah maupun pakaian anak-anaknya.
Alasan kurang lebih sama disampaikan PSK asal Blitar Selatan yang dikenal dengan panggilan Sri.
Perempuan berusia 40-an tahun ini mengaku bahwa dirinya dan PSK lain memilih untuk "kucing-kucingan" dengan petugas Trantib demi bisa terus bekerja di tempatnya mangkal.
Memang tidak semua PSK memilih sikap yang sama. Beberapa dari mereka memilih pulang kampung selama bulan Ramadhan dengan alasan takut terkena razia petugas.
Namun tindakan itu tidak diikuti para PSK lain yang jumlahnya diperkirakan mencapai 50-an orang.
"Lagian kami tidak diberi uang transpor oleh pemerintah untuk mudik. Yang ditutup itu hanya lokalisasi yang diakui saja, di sini kan tidak," kata Tutik, PSK lain menimpali.
Meski begitu, bukan berarti mereka tidak waspada mengingat ancaman kurungan maupun denda jika kepergok beraktivitas selama bulan Ramadhan cukup berat. Para PSK liar ini memilih pola transaksi seksual secara sembunyi-sembunyi.
Saat siang hingga sore mereka hanya tinggal di kamar tempat mangkal masing-masing yang dibangun mirip kos-kosan terbuka.
Namun jika waktu sudah menjelang malam, mereka baru berani meladeni setiap tamu yang datang. "Itupun biasanya kami lakukan secara sembunyi-sembunyi dan memastikan tidak akan ada razia petugas trantib," kata Maela. (ANT130/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
angger nggak larang wae