Bandung (ANTARA News) - Negara-negara Islam yang menghadiri Pertemuan Tahunan ke-6 Bank Pembangunan Islam (IDB) tentang Program Kemandirian Produksi Vaksin di Bandung 6-9 Agustus mengeluhkan sulitnya mendapat pengakuan atau prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk produk vaksin yang mereka buat.
Sejumlah negara dalam pertemuan yang bertema "Self Reliance in Vaccine Production Program" itu menyatakan kesulitan mendapatkan pengakuan atau prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) atas produk vaksin yang mereka buat.
Dari 23 negara Islam penghasil vaksin, baru Indonesia --PT Bio Farma (Persero)-- yang mendapat berbagai sertifikat prakualifikasi untuk produk vaksin.
Pada 1997, Bio Farma mendapat sertifikat prakualifikasi dari WHO untuk vaksin polio dan campak, kemudian untuk produk vaksin difteri, tetanus, dan pertusis (DTP) pada 2001, lalu pada 2003 untuk vaksin TT Uniject, setelah itu pada 2004 untuk hepatitis, menyusul kemudian pada 2006 untuk DPT HB dan campak 20, tahun 2009 untuk MOVP, dan terakhir pada 2010 untuk vaksin BOVP.
Negara-negara Islam lain pemroduksi vaksin seperti Pasteur Institute of Iran, Pasteur Institute of Tunisia, Vacsera (Mesir), Nine Bio (Malaysia), Razi Vaccine & Serum Research Institute (Iran), Lanavet (Senegal), NIH (National Institute of Health) dan Amson Company Pakistan, belum satu pun mendapat prakualifikasi.
Vacsera Mesir telah memproduksi vaksin TT, DT, dT, DTP, Kolera, dan Tipoid, sementara Pasteur Institute of Iran menghasilkan vaksin BCG, Hepatitis B, Kolera, dan Tipoid, sedangkan Razi menghasilkan vaksin TT, DT, dT, DTP, Measles, Rubella, MMR, OPV, dan Rab.
Demikian pula NIH dari Pakistan yang telah menghasilkan vaksin TT, Hepatitis B, tipoid, dan Rab, sementara AMson COmpanye menghasilkan TT, Hepatitis B yang menerima vaksin setengah jadi (bulk vaccine) dari pembuat lain.
Hanya Tunisia yang baru menghasilkan satu vaksin, untuk BCG.
"Semuanya belum mendapat prakualifikasi. No WHO prequalified vaccines," kata Dr Houda Langar dari WHO.
Di hadapan peserta pertemuan tahunan tersebut, perempuan yang menjadi Penasihat WHO untuk kawasan timur Mediterania yang berpusat di Kairo, Mesir itu menegaskan, prakualifikasi mutlak dibutuhkan.
Prakualifikasi adalah layanan WHO untuk badan-badan PBB yang membeli vaksin, diantaranya UNICEF.
Prakulifikasi menjadi penilaian independen untuk kualitas, keamanan, dan keampuhan vaksin, memastikan bahwa vaksin bisa dipakai untuk target penduduk dan memenuhi kebutuhan program imuniasi, serta memastikan kepuasan yang berkesinambungan dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditetapkan.
Proses prakualifikasi
WHO menetapkan, vaksin yang akan diproses untuk mendapatkan prakualifikasi pertama kali harus memenuhi persyaratan badan regulasi nasional atau National Regulatory Authority (NRA) di masing-masing negara pembuat vaksin.
Untuk Indonesia, misalnya, perlu memenuhi persyaratan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Guna memenuhi persyaratan, NRA misalnya harus lulus dari sejumlah tahap yakni pertemuan dengan WHO untuk membahas spesifikasi persyaratan dan tender, pengujian konsistensi jumlah produk, konsultasi dengan NRA, evaluasi atas data klinis, dan mengunjungi fasilitas pembuatan.
Setelah semua langkah tersebut ditempuh dan hasilnya lengkap serta memuaskan, NRA lalu melaporkan kepada WHO sesuai dengan persyaratan yang ditentukan WHO. Syarat-syarat itu meliputi akses laboratorium, inspeksi regulasi, gambaran regulasi atas ujicoba klinis, otoritas/lisensi pemasaran produk, dan pengawasan pascapemasaran produk.
WHO kemudian mengevaluasi sistem regulasi yang dibuat NRA atas produk vaksin.
Houda Langar sangat merekomendasikan vaksin yang telah mendapat prakualifaksi WHO karena kualitasnya terjamib dan pasti telah dievaluasi secara menyeluruh oleh WHO.
Untuk priode 2009-2010 WHO memiliki prioritas tinggi dalammemproses 13 jenis vaksin, antara lain vaksin meningitis, vaksin demam berdarah, bivalent oral polio vaccine (bOPV), monovalent oral polio vaccine, vaksin rotavirus.
Sementara untuk prioritas menengah, WHO memproses hasil vaksin tetanus dan dipteria bagi anak, vaksis dipteria, tetanus, dan pertusis.
Kemudian untuk prioritas rendah, WHO memproses vaksin BCG, vaksin rabies, tetaunis toksoid, dan vaksin tipoid.
Terakhir, ada juga vaksin yang tidak menjadi prioritas WHO, yakni vaksin monovalent hepatitis B, vaksin kolera oral, dan vaksin monovalent rubela. (*)
B009/s018/AR09
Oleh Budi Setiawanto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010