Timika (ANTARA News) - Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) di Kabupaten Mimika, Papua, menyatakan menolak segala bentuk kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz atau dalam bahasa setempat dinamakan Nemangkawi yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Papua.
Sekretaris LEMASA Jhoni Beanal kepada ANTARA di Timika, Selasa mengatakan penolakan LEMASA terhadap kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz dengan alasan karena merasa tidak pernah dilibatkan oleh Pemprov Papua.
"Kami dari LEMASA menolak dengan tegas seluruh kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz. Surat penolakan kami telah disampaikan ke Pemprov Papua," kata Jhoni Beanal.
Menurut dia, Pemprov Papua melalui Dinas Pariwisata sekitar Maret dan April 2010 bekerja sama dengan salah satu agen untuk pendakian ke Puncak Cartensz telah menjajaki untuk membuka tempat peristirahatan (cotage) di salah satu dari tujuh puncak tertinggi dunia yang masih ditutupi salju abadi itu.
Namun segala aktivitas tersebut, katanya, tidak pernah dikoordinasikan dengan LEMASA selaku lembaga yang mewadahi warga Suku Amungme yang menghuni 11 wilayah adat (Amungme neisurei).
"Kami menyayangkan karena Pemprov Papua justru menunjuk pihak lain bukan orang Amungme untuk memfasilitasi kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz," tambah Jhoni Beanal.
Ia mengatakan, bagi warga Suku Amungme Puncak Cartensz atau Nemangkawi merupakan gunung keramat yang diasosiasikan sebagai kepala, sedangkan 11 wilayah adat termasuk lokasi tambang emas, tembaga dan perak PT Freeport Indonesia di Grassberg merupakan organ tubuh yang lain.
Sehubungan dengan itu, katanya, seluruh kegiatan yang dilakukan di Puncak Cartensz sudah seharusnya berkoordinasi dan seizin LEMASA, terutama keluarga Beanal dan Magal di Kampung Tsinga Distrik Tembagapura yang merupakan pemilik ulayat atas wilayah gletser satu-satunya di daerah tropis itu.
Sebelumnya, Profesor Lonnie G Thompson selaku pemimpin kelompok peneliti pengeboran inti es Papua menyatakan mendukung program pariwisata ke Puncak Cartensz.
"Kalau lebih banyak orang yang datang untuk mengetahui ada gletser di Papua tentu lebih bagus karena saat ini banyak orang tidak mengetahuinya," katanya kepada ANTARA usai kegiatan penelitian sampel es di Glatser Cartensz di Timika beberapa waktu lalu.
Guru besar dari Ohio State University Amerika Serikat itu mengatakan, kondisi gletser Papua yang terus berkurang secara ekstrim dewasa ini akan memberikan pesan yang kuat bagi siapa pun yang mengunjungi kawasan itu akan kondisi bumi yang kian panas.
Meski demikian, Lonnie berharap agar kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz harus terkontrol secara baik untuk menjaga kondisi gletser dan gunung-gunung setempat tetap bersih.
"Itu yang sangat penting, aktivitas pariwisata harus tetap terkontrol," ujarnya mengingatkan.
Lonnie memperkirakan umur gletser yang ada di Puncak Cartensz Papua hanya akan bertahan 20 hingga 30 tahun lagi akibat pemanasan global.
Ia mengatakan , proses pencairan gletser hingga pada akhirnya hilang semua merupakan suatu fakta yang tidak bisa dibendung dengan teknologi apa pun yang dimiliki manusia sepanjang kondisi panas bumi terus mengalami kenaikan.
"Gletser di sini dan di tempat-tempat tropis lainnya yang panas semua akan hilang akibat perubahan iklim," jelas Lonnie.
Hasil penelitian timnya akan selesai akhir tahun ini dan akan dipublikasikan sekitar Juni 2011. Penelitian inti es Papua tersebut merupakan kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University dan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, Amerika Serikat yang melibatkan sejumlah pakar dari Amerika Serikat, Australia, Prancis, Italia dan Indonesia. (E015/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010