Tercatat dalam sejarah, Dumai, sebuah dusun kecil di pesisir timur Propinsi Riau, kini mulai menggeliat menjadi mutiara di pantai timur Sumatera dengan jumlah penduduk di atas 300 ribu jiwa.
Sebelumnya, Kota Dumai yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, diresmikan sebagai kota pada 20 April 1999, dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1999 tanggal 20 April 1999 setelah sebelumnya sempat menjadi kota administratif (kotif).
Infrastruktur Karat
Lebih sepuluh tahun, Kota Dumai, tidak berkembang selayaknya. Di kota itu, banyak terlihat bangunan-bangunan yang usang. Jalan-jalan yang rusak, penuh lobang dan gersang juga menjadi pemandangan yang biasa. Tidak itu saja, bertebarannya sampah organik dan non organik di kota itu juga menunjukkan kalau adipura hanya sebatas mimpi belaka.
Setiap musim kemarau, terik mentari di kota itu juga kian menyengat. Namun bila musim hujan datang, banjir-pun kian melanda.
Hal ini yang membuat kebanyakan masyarakat Dumai, baik yang tinggal di tengah maupun sudut kota kian resah karena derita sengatan mentari dan banjir yang perkepanjangan.
Sejumlah pakar mengatakan, terik mentari yang kian menyengat itu tidak hanya disebabkan letak georafis Dumai yang berdekatan dengan laut, namun juga disebabkan oleh berbagai industri perminyakan yang memadati kota itu.
Seorang pakar itu mengatakan, industri perminyakan di Dumai tidak tertata dengan rapi, banyak diantaranya juga berdekatan dengan pemukiman warga disana. Menurut pakar, sisa pembakaran minyak industri itu-lah yang membuat hawa di Kota Dumai semakin terasa panas.
Masuk kemasalah banjir, hal ini dipandang oleh kebanyakan masyarakat termasuk para pejabat disana merupakan masalah klasik yang berarti belum terpecahkan sejak sepuluh tahun kota itu didirikan.
Menanggapi dua permasalahan ini, Wali Kota Dumai, Zulkifli AS, sebelumnya sempat mengaku kewalahan karena anggaran pusat dan daerah yang minim.
Sebaliknya, alasan wali kota itu juga dianggap sebagai alasan klasik oleh kebanyakan masyarakt Dumai yang sangat mendambakan huniannya bebas dari sengatan matahari dan banjir.
"Di Dumai semua infrastrukturnya ber-karat karena tidak pernah diperbaharui atau diperbaiki. Seperti parit (drainase) banyak yang rusak sehingga tidak dapat menampung curah hujan yang datang," kata Suwarta (45), seorang warga Dumai yang tinggal di Kelurahan Purnama, Kecamatan Dumai Barat.
Sebaliknya, leman (40), seorang warga Dumai lainnya yang tinggal di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur, mengaku kepanasan saat kemarau karena keberadaan huniannya yang tidak jauh dari dermaga tempat dimana berbagai jenis minyak industri ditransit kesebuah kapal pengangkut yang membawanya ke berbagai negara-negara di belahan dunia.
Laut Yang Tercemar
Selain dua permasalahan itu, juga terselip permasalahan yang tidak kalah klasik, yakni pencemaran laut.
Di Kota Dumai, dermaga pelabuhan merupakan aset yang tidak ternilai. Kendati Dana Bagi Hasil yang diterima kota itu tidak setimpal, namun tidak dapat dipungkiri, pembangunan Dumai juga berkat DBH ini.
Namun sejauh ini, yang menjadi pertanyaan adalah, sudah maksimalkah pengawasan pelabuhan yang dilakukan?
Sejumlah fakta menyebutkan, kebocoran minyak hingga tertumpah ke perairan laut Dumai selalu terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Seorang pakar lingkungan hidup Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, berpendapat, pembangunan dermaga CPO (crude palm oil) di bibir laut Dumai, sangat rentan dan mempermudah pencemaran lingkungan karena memberikan dampak negatif terhadap keberadaan komunitas mangrove maupun makrozoobentos (organisme di dasar perairan).
Perairan tersebut menurutnya merupakan muara sungai yang merupakan daerah transisi antara lingkungan air tawar dan asin sehingga perairan laut Dumai rentan terhadap perubahan lingkungan.
Menurutnya minyak sawit merupakan bahan baku oleokimia karena mengandung lemak alkohol, metil ester, dan asam lemak. Minyak CPO terdiri atas fraksi padat yang merupakan asam lemak jenuh (miristat satu persen, palmitat 45 peren, stearat empat persen) serta fraksi cair merupakan asam lemak tidak jenuh (oleat 39 persen, linoleat 11 peren).
Dalam ulasannya, Amri mengungkapkan CPO Indonesia mempunyai kualitas yang minim karena hampir 90 persen kadar zat tidak mengandung karoten (C40H56 BM 536,85) yang larut dalam minyak dan mengakibatkan warna kuning atau jingga.
Sifat fisik CPO pada deffense 1985 seperti yang dikatakan Amri, memiliki warna khas, yakni orange/jingga yang disertai bau menyengat dan berbentuk pasta, serta kadar air yang mencapai 3,7589 x 10-3 mL/g CPO, indeks bias 1,4692, massa jenis 0,8948 g/mL dengan kelarutan pada eter yang cukup dalam aseton, sedikit larut dalam etanol dan tidak larut dalam air payau akan mengalami proses adaptasi dengan lingkungan estuarin.
"Hingga sekarang, porsi dan mutu tersebut masih serupa dan tidak banyak berbedaan," tuturnya seraya menambahkan, keberadaan mangrove yang paling menonjol dan tidak dapat digantikan dengan ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan ekosistem daratan.
Untuk menghindari dampak limbah tersebut, terang Amri, sebaiknya unsur pemerintahan melakukan kontrol rutin. Karena berbagai hal yang tidak diinginkan berkemungkinan terjadi pada saat yang tidak dapat dipastikan.
"Jika limbah CPO sudah sampai ke perairan lepas, maka bukan tidak mungkin akan menghambat populasi di perairan yang dapat menyebabkan berbagai hal negatif," ungkapnya.
Amri menjelaskan genangan minyak pada permukaan laut dapat menghambat cahaya matahari masuk ke dalam perairan laut tersebut hingga dapat mengurangi takaran oksigen pada dasar laut. Selain itu, limbah CPO juga dapat mempercepat abrasi karena terhambatnya bahkan musnahnya jenis pepohonan seperti bakau di bibir laut Dumai.
Maraknya Penyeludupan
Selain masalah infrastruktur yang karat dan pencemaran laut, Dumai, juga terkenal dengan maraknya aksi penyeludupan. Mulai dari penyeludupan barang elektronik, balpres, bahkan narkotika.
Masalah ini juga dapat dikategorikan sebagai permasalahan klasik, karena hingga kini upaya penyeludupan itu masih saja terjadi dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.
Banyaknya pelabuhan tikus di Kota Dumai, membuat aparat Bea dan Cukai cukup kewalahan untuk mengawasinya. Tidak dipungkiri, upaya penyeludupan sangat sering terjadi di kota itu.
Hal itu dibuktikan dengan hasil kerja aparat Bea dan Cukai yang setiap bulannya berhasil mengamankan berbagai elektronik ilegal seperti televisi, laptop, dan jenis elektronik lainnya di sejumlah pelabuhan tikus di kota itu.
Selain elektronik ilegal, aparat Bea dan Cukai juga kerap berhasil menggagalkan upaya penyeludupan pakaian bekas atau yang dikenal dengan sebutan balpres.
Sayangnya di setiap penangkapan terhadap barang illegal itu, petugas selalu tidak menemukan tersangka utama yang merupakan pemiliknya.
Kepala Bea dan Cukai Dumai, Isja Bewirman, menanggapi maraknya penyeludupan di Dumai dengan wajar dengan pengecualian. Maksudnya adalah, penyeludupan dapat dikategorikan wajar apabila yang menjadi dalang upaya merugikan negara itu dilakukan oleh mafia atau orang yang berada di luar lingkungan pemerintahan atau instansi vertikal terkait.
Namun penyeludupan bisa masuk dalam kategori tidak wajar apabila dilakukan oleh orang-orang yang berada di lingkungan pemerintahan dan instansi vertikal terkait.
Ia mengakui, kecurigaannya terhadap penyeludupan tidak wajar di Kota Dumai semakin kuat. Hal itu diungkapkannya menimbang maraknya penjualan barang-barang bekas asal luar negeri yang beredar luas di Dumai.
"Dari mana asal barang-barang itu kalau bukan dari hasil keberhasilan penyeludup. Hal ini yang kami sebut kecolongan, namun kami tidak bisa menindaknya karena barang-barang yang sebenarnya ilegal itu sudah sampai ke darat dan ke pihak yang bukan pemilik sebenarnya," paparnya.
Menanggapi maraknya penyeludupan narkotika di Kota Dumai, Kepala Polisi Resort Kota (Kapolresta) Dumai, AKBP Hersadwi Rusdiono, mengakui, jika dirinya sering kecolongan, karena selama ini, permasalahan yang sebenarnya berada di wilayahnya itu justru kerap dibongkar oleh aparat Bea dan Cukai.
Hersadwi juga mengakui jika selama ini pihaknya masih lemah dalam melakukan pengawasan di jalur laut sehingga upaya penyeludupan kerap tidak terpantau.
Air Bersih Yang Langka
Setelah masalah infrastruktur, pencemaran laut, dan masalah maraknya penyeludupan, masalah air bersih juga manjadi `motto` tersendiri bagi kota ini.
Siapa yang sangka, kota yang dijadikan sebagai landasan transit industri perminyakan ini ternyata kesulitan dalam memenuhi keputuhan air bersih labih dari 300.000 masyarakatnya.
Pada permasalahan yang satu ini, pemerintah kembali beralasan minimnya anggaran yang masuk, sehingga membuat semua rencana pembangunan proyek air bersih menjadi terkendala dan selalu tertunda kesiapannya.
Untuk mendapatkan sumber air bersih, masyarakat di kota itu harus antre di beberapa tempat penyedia air bersih dengan jatah dua drigen 50 liter per Kepala Keluarga (KK). Dengan alasan ketidaksabaran, beberapa warga lebih memilih untuk membelinya pada makelar air bersih yang berkeliling di Kota Dumai.
Menanggapi permasalahan itu, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kota Dumai, Wan Ramli, mengatakan, pengerjaan proyek air bersih sudah dilakukan sejak 2008 lalu. Sesuai dengan kontrak pekerjaan yang dilakukan antara Pemko Dumai dengan tiga perusahaan rekanan pengerjaan proyek air minum tersebut, penyelesaian pekerjaan akan berakhir pada Desember 2010.
Ia menyebutkan untuk mengerjakan proyek tersebut tentunya harus dilakukan secara berkesinambungan. Sebab perusahaan yang melakukan pengerjaan proyek itu ada tiga yakni Waskita Karya yang mengerjakan instalasi jaringan pipa primer, Adi Karya untuk jaringan pipa sambungan rumah dan Nindya Karya untuk instalasi pengolahan airnya.
Sementara diakuinya untuk melakukan pekerjaan tersebut ada ketergantungan dengan rekanan yang lain. Hal tersebut membuat kendala. Sebab saat satu perusahaan ini akan melaksanakan pengerjaan harus menunggu perusahaan lainnya selesai lebih dulu.
Sementara perusahaan yang ditunggu ini belum dapat mengerjakanya dikarenakan ada beberapa hal seperti cuaca musim hujan yang dapat menganggu aktivitas penggalian dan pembangunan cor tempat dudukan Reseve Osmosis (RO). Selain itu kendala yang dihadapi adalah kertelambatan pembayaran yang sempat terjadi karena Pemko Dumai mengalami defisit biaya.
Empat permasalahan di atas setidaknya memberi jawaban tentang pertanyaan yang tertera pada judul tulisan ini. "Seperti apakah Dumai ?" (ANT/K004)
Oleh Oleh Fazar Muhardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010