Jakarta (ANTARA News) - Perdagangan antarnegara ASEAN menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan sejak berlakunya Piagam ASEAN 2008 dan pembentukan "Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) pada 2015" tapi Indonesia masih harus kerja keras untuk menikmati peningkatan tersebut.
Koordinator Program Kajian ASEAN, The Habibie Center, Dean Yulindra Affandi, termasuk di antara pengamat yang melihat ada peningkatan perdagangan itu. "Salah satu faktor perdagangan antarnegara ASEAN naik ialah karena mulai "kempis"nya pasar Amerika dan juga Eropa akibat krisis global baru-baru ini," kata Dean baru-baru ini.
Dean yang dimintai pandangannya sehubungan dengan hari ulang tahun ke-43 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 8 Agustus lebih jauh mengatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN terdorong untuk meningkatkan perdagangan sesamanya untuk mencapai target AEC.
Bersama dengan China dan India, ASEAN menjadi fokus perhatian dunia ekonomi dan perdagangan bukan saja karena komoditasnya yang berlimpah tetapi juga populasinya.
Khusus Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) yang beberapa perjanjiannya dilaksanakan penuh pada awal Januari tahun ini merupakan pelaksanaan FTA terbesar dari segi populasi (1,9 miliar orang), dan terbesar ketiga dari segi ekonomi dengan GDP kumulatif senilai 5,8 triliun dolar AS.
Dan setelah Uni Eropa dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, ACFTA merupakan FTA terbesar ketiga dalam hal total perdagangan yang ditransaksikan. Pada 2008, perdagangan ASEAN-China mencapai 4,3 triliun dolar AS, atau 13 persen dari perdagangan global.
ASEAN beranggota 10 negara yakni Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam. Negara-negara tersebut telah memiliki Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang diratifikasi tahun 2008. Piagam ini merupakan landasan hukum yang mengikat bagi perhimpunan itu dan menetapkan sasaran bagi pengembangan politik, ekonomi dan sosiokultural negara-negara anggotanya.
Saat ini ASEAN menjalin kerja sama dengan negara-negara di luar kawasan antara lain forum regional ASEAN + 8 dan East Asia Summit.
Menurut Dean, Indonesia selama masa kepemimpinannya nanti, menggantikan Vietnam yang menjadi ketua ASEAN tahun 2010, harus bisa memperkuat lagi kerja sama antarnegara ASEAN.
"Indonesia harus dapat melakukan konsolidasi antarnegara ASEAN jika tetap ingin mempertahankan eksistensi dan perannya sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai kerja sama internasional," ujarnya.
Melihat kondisi perekonomian dunia saat ini, maka memperkuat kerja sama antaranegara ASEAN merupakan hal yang bijaksana untuk dilakukan, tambahnya.
Kepala Bidang Pusat PenelitianPolitik Internasisonal LIPI, Adriana Elisabeth, menilai volume perdagangan antaranegara ASEAN masih belum cukup signifikan dan mereka harus bersepakat untuk mengurangi kesenjangan ekonomi mengingat masih sangat besarnya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Menurut dia, kesenjangan ekonomi masih terlihat di antara negara anggota lama dan empat anggota baru: Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam (CLMV).
Mengingat masih ada kesenjangan tersebut, ASEAN telah mengambil langkah-langkah untuk menguranginya dengan membantu dalam pemberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia, keuangan, teknik, alih teknologi, pendidikan dan pelatihan.
Di dalam Deklarasi Bali II disebutkan secara khusus mengenai pendalaman dan pelebaran integrasi ASEAN dimana perhimpunan ini harus melengkapi kerja sama teknik untuk mempercepat pembangunan di negara-negara CLMV demi tercapainya integrasi ekonomi ASEAN.
Hal ini sudah dilakukan melalui Initiative for ASEAN Intergration (IAI) dan Roadmap for the Integration of ASEAN (RIA). Tujuannya supaya keuntungan dari integrasi ASEAN dapat dirasakan bersama berdasarkan potensi yang dimiliki masing-masing negara ASEAN.
Menurut mantan Menperindag Rini M.S. Soewandi dalam penelitian "Menuju Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN: Isu-isu Strategis" yang diterbitkan LIPI tahun 2009, perdagangan intra-ASEAN masih rendah dan tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan, misalnya pada 1993, volume perdagangan intra-ASEAN sebesar 19,1 persen, sementara pada 2002 hanya mencapai 21,3 persen.
Rendahnya volume perdagangan intra-ASEAN dikarenakan belum terrealisasinya program penurunan tarif bea masuk, padahal sudah terdapat dalam kesepakatan Kawasan Perdagaangan Bebas ASEAN (AFTA) sejak 1993. Hal ini merupakan kerugian mengingat pasar ASEAN yang sangat potensial dengan jumlah penduduk lebih dari 500 juta orang, belum dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pada 2005-2006, volume perdagangan intra-ASEAN terhadap total perdagangan ASEAN relatif konstan, yaitu 24,83 persen pada 2005 dan sedikit meningkat pada 2006 menjadi 24,97 persen. Data lain menunjukkan bahwa perdagangan intra-ASEAN yang rata-rata setahunnya mencapai seperempat dari perdagangan total ASEAN meningkat sebesar 14,6 persen dari 352,8 miliar dolar AS pada 2006 menjadi 404,3 miliar dolar AS pada 2007.
Dari data itu bisa dikatakan kecenderungan perdagangan ASEAN secara total meningkat tetapi persentase perdagangan intra-ASEAN tidak berubah, yaitu sekitar 25 persen walaupun dari segi nilai perdagangan ada kenaikan yang signifikan.
Program penurunan tarif melalui skema Common Effective Prefrential Tariff (CEPT) sudah berlangsung dan rata-rata tarif di ASEAN-6 sudah turun banyak, bahkan mendekati 0 persen.
Hambatan lain di sektor perdagangan di ASEAN berdasarkan penelitian itu adalah iklim bisnis yang bervariasi, misalnya prosedur untuk berbisnis di Singapura memerlukan waktu hanya enam hari, sementara di Indonesia membutuhkan waktu 97 hari, bahkan di Laos sampai memakan waktu 163 hari.
Selain itu, perbedaan GNP yang sangat besar di antara negara-negara ASEAN turut memperburuk perdagangan intra-ASEAN. Sebagai contoh, GNP Brunei mencapai 30.214 dolar AS, di Indonesia hanya 1.640 dolar AS, sementara di Myanmar adalah 208 dolar AS. Rendahnya perdagangan intra-ASEAN membuktikan bahwa ketergantungan ekonomi sesama negara-negara ASEAN, kecil.
"Saya melihat ada ketergantungan asimetris antarnegara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura,? ujarnya.
Sangat disayangkan daya saing Indonesia masih lemah dan salah satu pendiri ASEAN ini menjadi objek pasar anggota ASEAN yang ekonominya lebih maju. "Indonesia punya kedaulatan politik tapi kedaulatan ekonominya tertinggal. Kita ikut kepada maunya yang punya modal," kata Adriana. (M016/K004)
Oleh Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010