Jakarta (ANTARA) - Kebingungan masyarakat soal aturan mudik tahun ini semakin menjadi karena masih banyak aturan yang bisa berubah-ubah baik di pusat maupun di daerah, sehingga tidak jarang membuat warga kecewa.
Dimulai dari pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mengeluarkan sinyal bahwa mudik diperbolehkan dengan protokol kesehatan, namun tidak berapa lama kemudian diralat sebagai sebuah kebijakan yang belum final.
Akhirnya setelah melihat pertimbangan epidemiolog dan potensi mobilitas yang tinggi, Satgas COVID-9 akhirnya mengumumkan larangan mudik kemudian disusul Pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik bagi warga yang tertuang dalam SE Nomor 13 Tahun 2021, Tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah, dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 selama bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Adapun ketentuan yang diatur dalam SE mencakup protokol peniadaan mudik, pencegahan, dan pengendalian Covid-19 sosialisasi, pemantauan, pengendalian, dan evaluasi hingga sanksi.
Namun muncul pernyataan Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menjelaskan masih ada beberapa daerah yang disebut wilayah aglomerasi masih bisa melakukan kegiatan atau mudik lokal. Kebijakan berdasarkan penetapan wilayah aglomerasi tersebut hanya berlaku untuk transportasi darat.
"Menyangkut wilayah aglomerasi atau lingkungan perkotaan, jadi untuk kawasan perkotaan ada beberapa daerah yang kami skip dalam peraturan tadi yang masih boleh melanjutkan atau melakukan kegiatan pergerakan adalah wilayah aglomerasi,” katanya saat konferensi pers dalam akun BNPB 8 April 2021.
Baca juga: Dishub: Pekerja dari aglomerasi Jakarta tak perlu surat tugas
Hampir semua media kemudian menginformasikan 8 wilayah yang diperbolehkan melakukan mudik lokal, yaitu, pertama Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Mebidangro), kedua Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), ketiga Bandung Raya, keempat Semarang, Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi, kelima Jogja Raya, keenam Solo Raya, tujuh Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusila), dan delapan Makassar, Sungguminasa, Takalar, dan Maros.
Wilayah aglomerasi menjadi berita gembira bagi masyarakat yang tinggal dalam satu kawasan untuk merancang acara silaturahim selama Lebaran.
Bahkan pemerintah daerah yang bukan 8 wilayah aglomerasi itu juga mulai membolehkan mudik dengan istilah mudik lokal yang sudah disuarakan oleh Kementerian Perhubungan.
Gubernur Kepri dan Gubernur NTB kemudian berniat mengeluarkan kebijakan untuk membolehkan mudik lokal, namun kemudian dibatalkan setelah melihat adanya peningkatan kasus penyebaran covid dan pernyataan tegas Presiden RI Joko Widodo untuk mengendalikan COVID-19 di sepuluh provinsi yang mulai melonjak angka harian covid-nya termasuk dua provinsi itu.
Baca juga: Pemerintah Aceh tetapkan zona aglomerasi
Walaupun sudah ada penegasan larangan mudik yang kembali dilontarkan Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito pada 4 Mei 2021 bahwa Pemerintah melarang apapun bentuk mudik termasuk istilah mudik lokal, tetapi masih ada narasi lain yang menjadi alasan pemerintah daerah membolehkan mudik.
Saat ini beberapa hari menjelang Idul Fitri banyak pemerintah daerah yang membuat aturan membolehkan mudik lokal dengan menetapkan sendiri wilayah aglomerasinya seperti Aceh dan Sulteng.
Pemerintah Provinsi Aceh memperbolehkan pergerakan orang antar-kabupaten/kota dalam wilayah aglomerasi, serta memperbolehkan angkutan perintis ke kepulauan untuk tetap beroperasi seperti biasa.
Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Deddy Lesmana di Banda Aceh, Sabtu (8/5) membolehkan pergerakan antar-kabupaten/kota ini termuat dalam Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor:440/8833 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah Dalam Rangka Penyebaran Covid-19.
Baca juga: Kemarin, ekonomi biru sampai transportasi di wilayah aglomerasi
Sesuai surat edaran tersebut cakupan wilayah aglomerasi yang digunakan untuk pembatasan pergerakan orang adalah Aceh Trade and Distribution Centre (ATDC) berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) dimana ada enam zona atau wilayah aglomerasi di Aceh yang masih diperbolehkan dilayani oleh angkutan umum.
Pertama adalah Zona Pusat yaitu Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar dan Pidie. Untuk Zona Utara adalah Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Zona Timur ada Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang serta Zona Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam dan Singkil.
Selanjutnya adalah Zona Selatan yaitu Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulue, Zona Barat di Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Jaya.
Yang membahayakan adalah pelaku perjalanan tidak diwajibkan untuk menunjukkan surat hasil tes RT PCR/rapid test antigen/tes GeNose C19 sebagai syarat perjalanan, namun Satgas COVID akan melakukan test acak apabila diperlukan .
Demikian juga Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menggunakan skema pemusatan kawasan tertentu atau aglomerasi dalam mengatur pelonggaran terhadap warga di 13 kabupaten dan satu kota di provinsi yang akan mudik selama masa pengetatan mudik 6-17 Mei 2021.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola memutuskan lima wilayah aglomerasi yaitu pertama, Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Kedua, Kabupaten Poso dan Tojo Unauna. Ketiga, Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Morut). Keempat Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut. Kelima, Kabupaten Tolitoli dan Buol.
Warga dibolehkan mudik dalam satu wilayah aglomerasi yang ditetapkan atau disebut mudik lokal.
Saat ini bahkan wilayah satuan karesidenan di Jawa Barat yaitu Kabupaten/Kota Cirebon, Indramayu, Kuningan dan Majalengka yang disebut Ciayumajakuning juga akan melakukan kordinasi antardinas perhubungan untuk dikecualikan dari larangan mudik karena dianggap sebagai wilayah aglomerasi.
Sekda Kota Cirebon Agus Mulyadi beralasan Ciayumajakuning merupakan kesatuan wilayah yang sama seperti halnya wilayah Bandung Raya yang terdiri dari 4 kota dan kabupaten.
Ia juga meminta Kepala Dinas Perhubungan untuk segera berkoordinasi dengan daerah lainnya di Ciayumajakuning untuk menentukan kesepakatan aglomerasi.
Narasi soal larangan mudik dan aglomerasi akhirnya diterjemahkan berbeda oleh pemerintah daerah yang akhirnya membuat narasi sendiri dan mengeluarkan kebijakan sendiri tidak dalam kerangka besar untuk pengendalian mobilitas mencegah penyebaran COVID.
Pemerintah daerah tidak melihat esensi untuk mencegah mobilitas atas nama mudik dan silaturahim Lebaran sebagai bagian pengendalian virus corona yang saat ini menyebabkan 46.842 orang meninggal dunia dan 1,7 juta warga terpapar virus. Pemerintah daerah memberikan toleransi adanya mobilitas warga lintas kabupaten/kota dengan alasan masih dalam kesatuan wilayah.
Padahal berkali-kali Satgas Nasional COVID-19 membuat pernyataan tegas tentang larangan mudik, tetapi selalu ada alasan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang esensinya bertolak belakang dari kebijakan Pemerintah Pusat.
Kepala Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengingatkan semua kepala daerah agar satu narasi dengan pemerintah pusat terkait larangan mudik agar pesan yang sampai ke masyarakat dalam mencegah lonjakan COVID-19 tidak membingungkan.
"Tidak boleh ada pejabat manapun berbeda dari narasi pusat, negara kita sedang perang melawan COVID-19," tegasnya setelah muncul kebijakan berbeda dari sejumlah pemerintah daerah.
Baca juga: Wakil Ketua DPR usulkan tolak kedatangan WNA selama pelarangan mudik
Ketegasan ini perlu disertai surat formil untuk membatalkan keputusan pemerintah daerah yang membuka peluang adanya mudik lokal atau apapun mobilitas yang bisa memicu persebaran virus corona.
Pemerintah pusat harus tegas untuk membatalkan kebijakan mudik di daerah termasuk kebijakan untuk membuat wilayah aglomerasi sendiri karena esensinya tetap saja membuka peluang mobilitas penduduk yang berkolerasi positif dengan lonjakan COVID-19.
Pemerintah daerah harus mencontoh langkah DKI Jakarta, Depok, Bogor dan Tangerang yang tetap melarang adanya mudik bagi wilayah aglomerasi Jabodetabek. Bisa dibayangkan mobilitas silaturahim di dalam wilayah aglomerasi Jabodetabek yang mempunyai penduduk 30 juta atau bisa berkurang menjadi 25 juta karena lolos mudik, menjadi ancaman yang nyata bagi pengendalian virus corona.
Bagaimana jika ditambah mobilitas di wilayah aglomerasi yang ditetapkan sendiri-sendiri oleh setiap daerah, maka potensi tsunami virus corona di Indonesia menjadi semakin terbuka, apalagi varian baru corona yang lebih menular sudah masuk Indonesia sejak awal tahun 2021.
Baca juga: Ketua DPR RI akan tinjau larangan mudik di tiga provinsi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021