Jakarta (ANTARA) - Sudah lebih dari satu tahun sejak pandemi COVID-19 mewabah di dunia, tak terkecuali Indonesia. Pandemi memaksa seluruh sektor beradaptasi, salah satunya dengan mengurangi kontak fisik demi menekan angka penularan virus. Teknologi pun kini memiliki peran penting agar aktivitas sehari-hari, termasuk belajar bisa dijalani secara daring.
Meski terdengar lebih mudah dan praktis, pembelajaran dari jarak jauh atau PJJ masih membawa sejumlah tantangan bagi peserta didik di Indonesia.
Baca juga: Pemerhati : PJJ yang baik harus sesuai dengan kebutuhan
Pelaksana Tugas Direktur SMA Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud, Purwadi, beberapa waktu lalu mengatakan PJJ memiliki dampak pada anak salah satunya adalah meningkatnya angka putus sekolah. Juga ada laporan mengenai anak SMA yang putus sekolah dan memutuskan menikah, karena menganggap tugas sekolah terlalu berat dan berasal dari keluarga miskin.
Purwadi tak menampik PJJ berjalan baik di sejumlah daerah yang memiliki jaringan internet yang baik dan juga siswa yang tidak memiliki kendala dengan gawai. Namun hal itu hanya sebagian kecil saja.
Daerah yang memiliki kendala jaringan dan juga sarana, mengakalinya dengan menerapkan pola guru kunjung. Akan tetapi solusi juga memiliki keterbatasan dan akibatnya lagi-lagi PJJ tidak berlangsung dengan baik.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI pun tak mengelak bahwa pemerataan akses internet merupakan kunci utama demi menunjang kegiatan pembelajaran jangka pendek maupun jangka panjang.
Baca juga: Dikti : ICE Institute mungkinkan kolaborasi mahasiswa lintas daerah
Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi kepada ANTARA, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa pihaknya tengah mempercepat pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk berbagai layanan dan sektor termasuk pendidikan.
Pertama adalah pembangunan infrastruktur untuk fixed broadband access, yang mencakup sebanyak 503.113 pusat layanan publik seperti layanan kesehatan, layanan masyarakat, layanan pendidikan, dan lainnya. Dari total keseluruhan itu, terdapat 150 ribu pusat layanan publik yang belum ada akses internet memadai, termasuk di dalamnya sekira 93.900 pusat layanan pendidikan di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal).
"Kita percepat penyelenggaraan infrastrukturnya. Kalau biasa-biasa saja, kita akan baru selesaikan itu di tahun 2032. Tapi karena kita ingin semua dipercepat, termasuk sektor pendidikan agar segera mendapatkan layanan internet memadai, pemerintah putuskan untuk meluncurkan satelit SATRIA-1 dengan kapasitas 150 Gbps yang akan diluncurkan rencananya pada kuartal empat 2023. Artinya, kita 9 tahun lebih cepat dari rencana sebelumnya," kata Dedy.
Selain penyelenggaraan infrastruktur untuk fixed broadband access, ada juga untuk mobile broadband, yang mendukung layanan pendidikan di rumah, perkampungan, permukiman, di mana masyarakat mengakses internet untuk kebutuhannya termasuk untuk PJJ.
Dedy memaparkan, dari 83.218 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, masih ada 12.548 desa/kelurahan yang belum mendapatkan akses internet yang memadai, termasuk akses 4G. Menurut Dedy, sinyal 4G dinilai penting untuk kegiatan PJJ terutama di wilayah 3T atau wilayah non-3T tapi belum ada sinyal 4G tersebut.
"Rencananya, kalau kita biasa-biasa saja dengan perencanaan sebelumnya, ini akan selesai di tahun 2032, dan ini kita percepat, sampai akhir 2022 semuanya diharapkan sudah selesai. Sudah ada di penganggaran dengan bauran pembiayaan dan akhir 2022 itu sudah selesai. Sehingga bisa dipercepat 10 tahun. Keduanya (fixed dan mobile broadband access) imbasnya ke sektor pendidikan seperti layaknya sektor kesehatan, dan lainnya," jelas Dedy.
Tantangan dan kesempatan
Demi mewujudkan target tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang mengikuti. Dedy mengatakan, salah satu tantangan yang harus dihadapi dengan baik adalah bagaimana melakukan deployment infrastruktur telekomunikasi itu secepat mungkin dengan anggaran yang seefisien mungkin.
Baca juga: Pendidik perlu ubah metode penilaian pada pembelajaran daring
"Harus secepatnya, karena masyarakat tidak bisa menunggu. Di saat yang bersamaan kita harus sangat efisien karena pembiayaan dan anggaran pemerintah terbatas, terutama banyak dialokasikan atau diprioritaskan untuk penanganan COVID-19," kata dia.
Tak hanya di level infrastruktur, Kementerian Kominfo juga menyoroti tantangan di level pengguna. Masyarakat sebagai pengguna juga harus siap, dengan mendapatkan edukasi tentang bagaimana menggunakan internet dan media sosial secara aman, bijak, positif dan produktif.
Dedy mengatakan Kominfo memiliki "rumus" -- di mana setiap pembangunan infrastruktur telekomunikasi wajib dibarengi dengan kesiapan masyarakat yang akan menggunakannya.
Program literasi digital pun gencar disuarakan demi mengimbangi masyarakat yang mendapatkan sinyal yang lebih baik dan merata dan luas, masyarakat juga mengerti bagaimana menggunakannya secara aman dan bijak.
Literasi digital sebelumnya ditargetkan mencapai di bawah 1 juta orang. Namun, mulai 2021, pemerintah menargetkan masyarakat yang terliterasi setiap tahunnya ada 12,5 juta orang.
Dedy memaparkan, literasi digital juga diharapkan mampu membuat masyarakat lebih peka untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang di ruang digital -- karena internet juga memiliki potensi untuk berbagai hal negatif. Sebut saja penyebaran konten ilegal, konten merusak kepribadian bangsa seperti hoaks, hate speech, cyberbullying, pencurian data pribadi, pelecehan seksual di ruang siber, hingga radikalisme yang bisa menyasar siapa saja, termasuk generasi muda.
"Dengan adanya 'penyakit informasi/information disorder' ini bisa berdampak negatif ke psikologis masyarakat dan persatuan bangsa. Kita tidak ingin perluasan akses internet yang sudah disebutkan di awal tadi kemudian malah menjadi bumerang untuk bangsa, karena dimanfaatkan secara negatif," kata Dedy.
Di sisi lain, internet dan media sosial sangat berpeluang untuk dimanfaatkan secara positif untuk masyarakat. Ada banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari kemudahan mengakses informasi pendidikan, hingga pengembangan UMKM digital.
Dedy menambahkan, peluang seperti ini yang harus dimanfaatkan masyarakat. "Untuk anak muda kami mendorong untuk manfaatkan ruang digital secara positif dan produktif dengan mengenal dan mendalami teknologi baru seperti big data analytics, AI, machine learning, IoT, digital communication, digital enterpreneurship, cyber security... Itu peluang baru yang bisa dimanfaatkan untuk bersaing di masa mendatang."
Ia kemudian berharap, masyarakat bersama pemerintah bisa menyongsong akselerasi transformasi digital nasional. "Di mana dengan percepatan ini kita akan menyongsong era baru Indonesia yang mampu menciptakan dan memanfaatkan ruang digital secara positif, produktif, dan bijaksana. Ini kunci yang harus kita pegang mulai dari anak-anak, pemuda, orang tua, lansia, semua bisa memanfaatkan ruang digital untuk tujuan positif."
"Mari bersama-sama di Hardiknas ini kita ingat juga pilar pendidikan yaitu literasi digital, di mana kecakapan pengetahuan terkait ruang digital ditingkatkan bersama-sama demi Indonesia maju melalui teknologi yang kita miliki," pungkasnya.
Baca juga: Upaya meningkatkan kompetensi saat PJJ melalui platform pembelajaran
Baca juga: Kolaborasi IGI dan TikTok buat buku panduan digitalisasi pendidikan
Baca juga: Kemendikbud: Pembelajaran berhasil jika tiga aspek ini terjalin
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021