Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta berpendapat pembentukan poros Islam pada Pilpres 2024 hanya akan memperlebar pembelahan atau polarisasi politik identitas di masyarakat pasca Pilpres 2019.
Anis Matta dalam diskusi Moya Institute bertajuk Prospek Islam dalam Kontestasi 2024 secara daring, di Jakarta, Jumat, menolak ide koalisi poros Islam.
Dia menilai, ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam.
"Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," ujarnya.
Anis melihat saat ini sedang dalam krisis sistemik yang terjadi secara global dan nasional. Krisis ini mengakibatkan keterbelahan di masyarakat.
Elite politik dari kelompok Islam (kanan), tengah maupun kiri sedang bingung menghadapi krisis ini.
Baca juga: Pengamat: Koalisi parpol Islam wacana positif hadapi politik pragmatis
Baca juga: Din Syamsuddin: Poros Islam sulit terwujud
Baca juga: Koalisi Politik Islam bertekad gabungkan poros tengah
"Di Indonesia sedang mengalami pembelahan ini dan menurut saya pembelahan ini satu fenomena yang menunjukkan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini. Kita alami krisis sistemik dan krisis leadership, saya kira kebingungan ini ada di kelompok Islam, kelompok tengah dan kelompok kiri," kata Anis dalam siaran persnya.
Pembentukan poros Islam bukan sebuah solusi masalah ini karena poros Islam bukan menyatukan tetapi justru akan membuat kelompok-kelompok kecil di masyarakat.
"Justru cara kita merespon dengan pembentukan poros Islam membuat kita masuk konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia," kata Anis.
Sementara Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat mengaku terkesan dengan visi yang disampaikan Ketum Gelora Indonesia Anis Matta yang menyebutkan konsolidasi politik zaman kemerdekaan yang mengutamakan nasionalisme.
"Pertama saya sepakat, bagaimana mengembalikan saat semangat awal menuju Indonesia merdeka. Kemudian kenapa ada parpol Islam dan bukan parpol Islam, ada panggilan sejarah, sebagai satu kekuatan kritik, sebab ketika kritik itu bersama, maka akan lebih didengarkan. Saudara Anis Matta sudah bagus sekali, jadi harus ada narasi besar, kalau dulu ada merdeka, pembangunan, sekarang harus ada narasi baru dalam membawa arah baru Indonesia," ujar Komarudin.
Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra, menambahkan, koalisi berbasis Islam atau Pancasila peluangnya untuk bisa menang di Pemilu itu tergantung kemampuan menangkap atau mengkapitalisasi masalah-masalah di masyarakat.
"Banyak sekali masalah ekonomi, sosial, disrupsi tingkat lokal, nasional dan global. Jadi tidak bisa hanya bicara pada ideologi saja. Apakah Islam atau Pancasila," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, gambaran opini publik saat ini memang masih belum percaya dengan argumen yang diusung partai-partai berbasis massa Islam.
Hal itu kata Sirojudin tidak serta merta memunculkan alternatif fundamental bagi struktur kepartaian di Indonesia. Tahun 1999, ada 4 partai berbasis massa Islam: PKB, PAN, PK, PPP.
"Partai-partai berbasis massa Islam memiliki problem cukup besar dengan konflik internal. Karena itu, kecenderungan suara Partai Islam dari 1999-2014 menurun. Prospeknya seperti apa kalau melihat tantangan seperti ini? Hegemoninya terlihat di sini," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat Politik Global Prof Imron Cotan menyampaikan, kalau Partai Politik beraspirasi Islam dan Kebangsaan tidak memanfaatkan krisis yang sedang berlangsung saat ini yaitu krisis kesehatan dan ekonomi baik regional dan global, serta tidak mampu mengusung pemimpin yang bisa memajukan umat Islam Indonesia, maka pembentukan poros Islam akan gagal.
"Kemudian, yang menguatkan tesis saya bahwa krisis itu akan melahirkan pemimpin alternatif, sudah ada bukti di Brazil. Sebenarnya Donald Trump muncul karena akibat ada krisis. Di Australia juga muncul pemimpin alternatif karena ada krisis," jelasnya.
Dia mengaku hingga kini belum melihat ada pemimpin alternatif yang bisa diusung berdasarkan aspirasi dari pandangan Keislaman.
"Kita juga harus berhati-hati, apakah di Indonesia akan muncul pemimpin dari faksi kanan ekstrem. Semoga saja tidak. Seperti yang disampaikan Ketum Anis Matta, jika Poros Islam dibentuk ada potensi pemecah belahan bangsa yang semakin mendalam," ucapnya.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021