Jakarta (ANTARA) - Konflik yang terjadi di Papua harus diurai dari akar persoalannya dan diambil langkah-langkah penyelesaian secara holistik dan kolaboratif.

Hal itu terungkap dalam webinar yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema "Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik" secara daring di Jakarta, Kamis.

Webinar itu menghadirkan pembicara Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri Komjen Pol Paulus Waterpauw, anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi, pengamat politik President University Dr AS Hikam, Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM - Kantor Staf Presiden), dan Billy Mambrasar (Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua).

Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo dalam pengantar diskusi mengatakan, konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas karena di Papua tak berlaku solusi tunggal, mengingat persoalannya sangat heterogen, multidimensi dan sangat complicated (rumit).

"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," kata Karyono dalam siaran persnya.

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, sebenarnya pembangunan di Papua sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik, antara lain, dengan adanya UU 21/2001 tentang Otsus Papua.

Kemudian Perpu No. 1 Tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan; penegakan supremasi hukum; penghormatan HAM; percepatan pembangun ekonomi; dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.

"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.

Dia mencontohkan, ketika Presiden Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya, ternyata masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.

"Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," katanya.

Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua, Billy Mambrasar menilai pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik, khususnya dengan basis sumber daya manusia. Dan sejak berlakunya Otsus Papua tahun 2001, upaya itu sudah dilakukan.

"Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process," tutur Billy.

Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial. Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.

Billy juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua.

"Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah," katanya.

Sementara itu, AS Hikam menilai Papua mestinya dilihat dengan cara pandang yang berorientasi pada humanistik dan kebudayaan karena masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.

"Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," jelas Hikam.

Bagi Hikam, apa yang sudah dilakukan pemerintah memang sangat baik. Tapi kalau tidak berbasis fakta riil di lapangan, maka hasilnya mungkin tak akan terlalu efektif.

Sebagai contoh, Otsus Papua dan dana triliunan rupiah yang mengikutinya juga masih jadi pertanyaan, sejauh mana efektifitasnya.

"Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin," kata Hikam.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021