Jakarta (ANTARA News) - Beberapa waktu lalu, Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan 13 poin penyebab krisis listrik yang salah satunya adalah penggunaan minyak yang besar untuk pembangkitan listrik.
Meminjam Purnomo Yusgiantoro dalam "Ekonomi Energi: Teori dan Praktek", konsumsi minyak untuk pembangkitan listrik memang besar mencapai 30,8 persen, disusul gas bumi 22,2 persen, batubara 28,1 persen, air 13,8 persen, dan panas bumi 4,9 persen.
"Sistem pembangkit listrik masih tergantung pada penggunaan batu bara, minyak dan gas," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Hudi Hastowo, Oktober lalu.
Konsumsi yang besar ini tak berkorelasi dengan cadangan yang besar karena sumber energi fosil itu terus menyusut. Sebuah studi pimpinan ilmuwan Ibrahim Nashawi menunjukkan, cadangan minyak dunia susut 2,21 persen setiap tahun, sehingga eksportir minyak seperti Indonesia pun berubah menjadi importir minyak.
Penyusutan ini membuat dunia khawatir. CEO Petrobas Jose Gabrielli sampai pesimistis dunia akan sulit mempertahankan tingkat produksi minyaknya, kecuali ada satu lagi negara penghasil minyak sekelas Arab Saudi.
Cadangan minyak Indonesia sendiri, meminjam kajian British Petroleum pada 2005, mencapai 9,6 miliar barrel pada 1984, namun menyurut menjadi 5 milyar barrel pada 1994, kemudian menyusut lagi menjadi 4,7 miliar barrel pada 2004.
Di saat bersamaan, konsumsinya malah meningkat, diantaranya karena industrialisasi dan ekspansi penduduk. Pada 1994 konsumsi minyak Indonesia baru 774 ribu bph, tapi satu dekade kemudian menjadi 1,15 juta bph.
Jomplangnya tingkat produksi dan konsumsi ini membuat Indonesia seketika menjadi pengimpor minyak.
Jelas Indonesia menghadapi kesulitan hebat, apalagi pengusahaan dan pemanfaatan energi fosil --termasuk batu bara-- dianggap mendegradasi iklim.
Di termin sama, negara berkembang termasuk Indonesia, mengutip pakar fisika nuklir Peter Hodgson, memerlukan 5 x 106 MW listrik baru sampai beberapa dekade ke depan.
Indonesia pun dipaksa memikirkan alternatif lain, walau sebenarnya masih memiliki gas, batu bara, panas bumi, air, dan angin. Masalahnya, energi-energi alternatif seperti itu kontribusinya minim, kecuali gas dan batu bara. Lain dari itu pengusahaannya acap membuat lahan pertanian menyempit, selain menjadi polutan, khususnya eksploitasi batu bara.
Di tengah kegalauan ini, nuklir menjadi pilihan. "Nuklir relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan batu bara yang menghasilkan karbondioksida yang mencemari udara," kata pemerhati energi Dwi Putranto Waluyo Aji (ANTARA, 15/6).
Kendati dianggap menakutkan, tenaga nuklir justru memiliki catatan keamanan yang baik. John McCarthy, profesor Ilmu Komputer pada Universitas Stanford, memaparkan fakta-fakta berikut untuk menguatkan itu.
Saat dunia memiliki 9.012 reaktor nuklir pada 1984, hanya Chernobyl yang rusak, sementara ketika reaktor Three Mile Island di AS terkena musibah pada 1979, tak satu pun nyawa manusia melayang. Tenaga nuklir pun semakin menjadi opsi penting di banyak negara.
Udara bersih
"Pasokan energi nuklir menyumbang 16 persen total listrik dunia sekaligus memupus emisi 2,5 miliar ton gas karbon setiap tahun," demikian GE Hitachi dalam lamannya.
Sejumlah pakar kemudian dengan tegas merekomendasikan pemanfaatan nuklir, diantaranya ahli fisika Steven Chu yang kini Menteri Energi AS. "Jika kita serius berupaya mengurangi emisi karbondioksida, maka tenaga nuklir harus menjadi pilihan," kata Steven.
Lain halnya dengan aktivis lingkungan James Lovelock. Dia menuduh dramatisasi bahaya nuklir telah membuat manusia takut memanfaatkan nuklir.
"Penentangan terhadap tenaga nuklir didasarkan pada ketakutan irasional," kata James kepada Independent, Mei 2004.
James tak membual karena sejak dimanfaatkan pada 1952, nuklir memenuhi kebutuhan listrik ideal. Contoh suksesnya Prancis yang 80 persen kebutuhan listriknya dipenuhi oleh 58 reaktor nuklirnya.
Prancis juga menjadi negara maju paling bersih udaranya, sementara tarif listriknya termurah di Eropa. Prancis tak membuang limbah nuklirnya, melainkan diproses kembali menjadi bahan bakar.
Banyak negara berusaha meniru Prancis, misalnya China yang aktif membangun reaktor-reaktor baru sebagai antisipasi naiknya harga batu bara dan gas, di samping memenuhi batas emisi gas karbonnya.
Energi nuklir juga efisien. Sebagai gambaran, pada 1988, seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di dunia menghasilkan 1,9 x 1012 kWh listrik atau setara dengan pembakaran 900 juta ton batu bara dan 600 juta ton minyak.
Mengutip John McCarthy, fusi satu atom uranium menghasilkan energi 10 juta kali lebih besar dari pembakaran satu atom karbon batu bara. Tak heran, energi nuklir dianggap bisa mengisi kesenjangan pasokan listrik dunia sampai 40 persen.
Emisinya pun kecil sekali. Bayangkan, manakala batu bara menghasilkan 850 ton emisi karbon per gigawatt per jam, minyak 750 gigawatt dan gas 500 gigawatt, energi nuklir cuma mengeluarkan emisi 8 gigawatt per jam.
Fakta-fakta ini membuat banyak kalangan yakin nuklir adalah "jalan keluar.". "Energi nuklir adalah pilihan yang tidak bisa ditawar lagi," kata Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Muhammad Said Didu.
Indonesia pun didesak segera memiliki PLTN seperti diamanatkan UU 17 tahun 2007 yang menitahkan Indonesia mesti memanfaatkan nuklir paling lambat tahun 2019.
Niscaya
Sementara mantan Menristek BJ Habibie menilai keharusan bernuklir didasari oleh kecenderungan bahwa konsumsi energi Indonesia pada 2045 akan 483 persen dari tingkat konsumsi energi saat ini.
Lain dari itu, dibandingkan PLTU yang agresif dibangun Indonesia, PLTN lebih ramah lingkungan.
PLTU berdaya 1.000 MW, sebut Habibie, menghabiskan 3,7 juta ton batu bara per tahun dan melepaskan 6,7 juta ton CO2, 3.000 ton SO2, 8.500 ton NO2, dan debu halus 5.700 ton per tahun.
Lembaga-lembaga penting seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sendiri secara implisit menganggap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai keniscayaan.
"Singapura misalnya, dulu kontra tetapi sekarang berparadigma baru yaitu melihat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir perlu dibangun guna mengantisipasi kekurangan bahan bakar minyak dan gas di masa depan," kata Kepala BAPETEN As Natio Lasman.
Dari fakta dan rekomendasi-rekomendasi itu, jelas Indonesia pantas untuk "go nuclear." Lagi pula, upaya ini diperkuat oleh rekomendasi-rekomendasi internasional seperti Asian Parliamentary Assembly yang pada Desember 2009 merekomendasikan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai.
Namun yang terpenting adalah lampu hijau dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang Juli ini menyatakan Indonesia siap bernuklir.
Menurut Taswanda Taryo dari BATAN, IAEA menilai Indonesia telah siap dari sumberdaya manusia, pemangku kepentingan, industri, dan regulasi. Kalau diperhatikan, dari sistem regulasi dan kepakaran, sampai ketersediaan bahan baku dan kajian keselamatan, Indonesia memang seharusnya pantas memiliki PLTN.
Kini tinggal kemauan politik saja untuk mewujudkan impian besar ini.
"Usulan ini sudah diketahui pemerintah dan tengah dipikirkan bagaimana mengubah persepsi ketakutan masyarakat terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi," kata Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu.
Said tampak terkesan oleh efisiensi pembangkit listrik nuklir di mana yang terkecil saja bisa menghasilkan 1.000 megawatt dan bertahan hingga 40 tahun. "Sementara batu bara hanya 20 tahun," kilahnya.
Tak itu saja, banyak negara menggunakan nuklir sebagai sumber energi, seperti Malaysia, yang menurut Said Didu akan memulai nuklirisasi pada 2012, tiga tahun lebih cepat dari impian Indonesia seperti diamanatkan UU No 17 Tahun 2007. Haruskah Indonesia tertinggal? Lebih cepat lebih baik bukan? (*)
(AR09/R009/ART)
Oleh Jafar Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010