Jakarta (ANTARA News) - Pusat Studi Kebijakan Publik meminta pemerintah memberikan subsidi bagi pengguna elpiji kemasan tabung 12 kg guna menekan kasus kecelakaan akibat elpiji belakangan ini.
Direktur Puskepi Sofyano Zakaria di Jakarta, Kamis mengatakan, kasus kebocoran gas elpiji akan tetap terjadi sepanjang terdapat disparitas harga antara elpiji tiga kg dan 12 kg.
"Adanya disparitas harga elpiji akan memancing banyak pihak mengalihkan elpiji dari tabung tiga kg ke 12 kg," katanya.
Saat ini, harga elpiji tiga kg yang disubsidi pemerintah adalah Rp4.250 per kg, sedangkan harga tabung 12 kg yang tidak disubsidi adalah Rp5.850 per kg atau selisih sebesar Rp1.600 per kg.
Menurut dia, dengan menyubsidi elpiji 12 kg, sehingga harganya sama elpiji tiga kg, maka masyarakat bisa diselamatkan dari ancaman ledakan.
Puskepi menghitung tambahan subsidi yang diperlukan mencapai Rp4 triliun per tahun atau masih di bawah penghematan konversi minyak tanah ke elpiji tiga kg sekitar Rp21 triliun per tahun.
"Jadi, pemerintah masih untung dan ancaman ledakan karena ulah pengoplos yang bersumber dari adanya disparitas harga tidak terjadi lagi," katanya.
Sofyano mengatakan, pengalihan isi tabung tiga kg ke 12 dapat dilakukan dengan alat sederhana.
Namun, dampaknya merusak katup, sehingga menimbulkan celah lubang keluar gas baik pada tabung tiga kg maupun 12 kg dan menjadi penyebab terbesar kasus kebocoran elpiji.
Penelitian Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT), celah lubang pada katup sebesar 0,5 mm akan keluarkan gas sebanyak 2,5 kg dalam satu jam, sementara kebocoran selang elpiji juga sebesar 0,5 mm hanya mengeluarkan 10 gram gas selama satu jam.
"Kerusakan katup ini membuat elpiji 12 kg ikut bermasalah yang sebelumnya selama bertahun tahun selalu aman," katanya.
Sofyano menambahkan, perangkat elpiji yang telah memiliki SNI pun tetap akan bermasalah, jika katup pada tabung rusak akibat pengoplosan.
"Polisi harus bertindak tegas menangkap para pengoplos elpiji," ujarnya. (K007/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010