Jakarta (ANTARA) - Dalam tradisi masyarakat muslim nusantara, Lebaran selalu dijadikan momentum untuk menjalin tali silaturahim, bertemu sanak saudara, saling memaafkan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak.
Para perantau bergegas mudik untuk menyongsong momen Lebaran setelah sekian lama menunggunya. Namun semenjak pandemi COVID-19 momen Lebaran sepertinya mengalami perubahan.
Kerumunan orang dalam jumlah besar sebisa mungkin dihindari karena berpeluang besar memicu penyebaran virus COVID-19.
Situasi ini pun semakin pelik dengan adanya kebijakan pemerintah yang melarang mudik untuk wilayah-wilayah tertentu.
Menyikapi permasalahan tersebut, simak tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Bagaimana menyikapi agar silaturahim tetap terjalin di masa pandemi?
Tradisi berkerumun baik dengan kerabat dekat maupun jauh terutama pada saat Lebaran, seperti dalam acara halal bi halal, adalah sesuatu yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat kita.
Di samping itu, momen Lebaran juga sering dijadikan sebagai momen untuk nyekar ke makam kedua orang tua dan para leluhur yang telah meninggal dunia.
Situasi ini mungkin akan terasa dilematis. Di satu sisi terbayang kegagalan bersilaturahim, sedang di sisi lain ada perasaan berdosa karena tak bisa bersilaturahim dengan sanak-saudara.
Padahal kapan lagi bisa bersilaturahim dengan keluarga besar kecuali pada momen Lebaran.
Apa hendak dikata, pandemi COVID-19 suka tidak suka telah mengganggu tatanan dan norma masyarakat yang sudah mapan.
Kemapanan tersebut salah satunya bisa dibaca dalam pandangan sebagian kalangan masyarakat yang menganggap bahwa silaturahim adalah pertemuan fisik secara langsung.
Pandangan ini jelas tidak salah, tetapi mereduksi silaturahim hanya sebatas pertemuan fisik adalah kurang tepat.
Silaturahim—sebagaimana yang kami pahami dari apa dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi—adalah berbuat kebajikan kepada sanak kerabat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pihak yang bersilaturahim maupun yang disilaturahimi.
Karena itu, silaturahim bisa ditempuh dengan cara memberikan bantuan finansial, bantuan tenaga kepada kerabat, mengunjunginya atau hanya sekadar memberikan salam kepadanya, dan cara lain yang dikategorikan sebagai kebajikan kepada kerabat.
وَأَمَّا صِلَةُ الرَّحِمِ فَهِيَ اَلْاِحْسَانُ إِلَى الاَقَارِبِ عَلَى حَسَبِ حَالِ الوَاصِلِ وَالْمَوْصُولِ فَتَارَةً تَكُونُ بِالْمَالِ وَتَارَةً بِالْخِدْمَةِ وَتَارَة بِالزِّيَارَةِ وَالسَّلَامِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
"Adapun menepung tali silaturahim adalah berbuat kebajikan kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang bersilaturahim dan yang disilaturahimi. Maka silaturahim bisa dilakukan dengan memberikan kebaikan melalui harta, memberi melayani (memberi bantuan tenaga), mengunjungi, memberi salam dan lain-lain.” (Muhyidin Syarf an-Nawawi, Juz, XVIII, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, II, h. 201).
Berpijak dari penjelasan singkat ini, maka silaturahim pada saat momen Lebaran di masa pandemi COVID-19 tidak harus dilakukan dengan dalam bentuk pertemuan fisik, apalagi dengan melibatkan jumlah orang banyak.
Terutama untuk wilayah-wilayah yang belum aman dari ancaman virus COVID-19. Silaturahim bisa dilakukan dengan berbagi macam cara.
Seperti memberi mengirimkan bantuan finansial atau memberikan bantuan tenaga kepada keluarga yang terdampak pandemi, bisa dilakukan dengan sambungan telepon genggam atau bersilaturahim secara virtual melalui zoom.
Sehingga adanya pandemi COVID-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan amaliyah atau aktivitas bersilaturahim.
Sebab, silaturahim merupakan amalan yang bisa melapangkan jalan rezeki dan memberikan keberkahan umur kita.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw sebagai berikut;
مَنْ أَحَبَّ اَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang senang dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan (diberi keberkahan, pent) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturahim.” (HR. Bukhari-Muslim).
Baca juga: Lailatul Qadar dan wanita yang haid
Baca juga: Qadha puasa bagi ibu hamil dan ibu menyusui
Baca juga: Pandangan fikih atas larangan mudik
Baca juga: PBNU: Maknai Nuzulul Quran dengan melahirkan gagasan yang mencerahkan
Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2021