Jakarta (ANTARA News) - Produktivitas sepatu pengrajin Cibaduyut di Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu (AMIB) Jawa Barat anjlok hingga lebih dari 60 persen pasca-pemberlakuan ACFTA.
"Tahun ini sangat jelas penurunannya (produktivitas) dibandingkan pada 2009. Tahun lalu masih lumayan bagus," kata Ketua Koperasi Bina Usaha AMIB Jawa Barat, Andy Ansyaruding, di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, saat ini produktivitas per-home industri yang dibinanya hanya sekitar 300 pasang sepatu per-pekan.
Padahal tahun lalu, produktivitas per-home industri bisa mencapai 900 pasang sepatu per-pekan.
"Tidak hanya itu, bahkan perajin binaan kami sekarang tinggal tersisa 20 persen. Sebanyak 80 persen lainnya gulung tikar karena kekurangan modal," kata Andy.
Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu (AMIB) Jawa Barat saat ini hanya membina sekitar 30-an perajin dari tahun sebelumnya mencapai 153 perajin di sekitar Cibaduyut.
Andy mengatakan, pasca pemberlakukan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) industri sepatu yang dibina koperasinya terhadang berbagai macam persoalan mulai dari kurangnya modal usaha hingga sulit bersaing dengan produk China.
"Tapi kami masih mengandalkan kualitas, masyarakat sudah tahu kualitas Cibaduyut masih lebih bagus dibandingkan produk China," katanya.
Persoalan kemudian masih ditambah dengan membengkaknya biaya operasi karena kenaikan tarif dasar listrik (TDL) belum lama ini dan naiknya bahan baku kulit di pasar dalam negeri.
"Hal itu membuat harga pokok produksi (HPP) per-pasang sepatu membengkak menjadi Rp190 ribu. Padahal tahun lalu HPP hanya Rp140 ribu," katanya.
Ia menambahkan, biaya tersebut belum termasuk biaya pegawai yang mencapai Rp25 ribu/orang sampai biaya kemas.
Pasca-pemberlakukan ACFTA hingga saat ini, kata Andy, pasar domestik belum mampu menyerap secara optimal produksi sepatu koperasi binaannya.
"Produksi kami masih untuk konsumsi dalam negeri, belum sampai ekspor," katanya.
Terkait dengan permintaan sepatu menjelang lebaran, Andy mengakui terjadi lonjakan permintaan mencapai 30-40 persen.
"Tapi kami tidak memproduksi lebih banyak, hanya mengeluarkan stok yang selama ini tidak optimal terserap pasar," demikian Andy Ansyaruding.
(H016/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010