Batam (ANTARA) - "Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga ke liang lahat," ajaran itulah yang terpatri di diri Fauziah, warga Pulau Sembulang Kecamatan Galang Kota Batam Kepulauan Riau.

Lahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara membuat Fauziah (45) harus banyak mengalah demi kebahagiaan dan kesuksesan kakak dan adik-adiknya, termasuk soal pendidikan.

Setamatnya dari SD, Fauziah memutuskan tidak melanjutkan sekolah ke SMP. Ia memilih membantu orang tua di rumah. Sedangkan kakak pertamanya, yang juga perempuan, bersekolah hingga ke kota seberang.

"Dari dulu ada keinginan untuk sekolah. Dulu hanya tamat SD, karena adik-beradik ramai, kami semua berlima orang. Kalau semua sekolah, kasihan orang tua, saya mengalah," kata Fauziah saat mengisi podcast menyambut Hari Pendidikan Nasional yang digelar LKBN Antara Biro Kepri di Batam, Senin.

Setiap hari, Fauziah membantu orang tua menyiapkan adik-adiknya yang masih SD untuk bersekolah. Ada rasa perih di dada, karena keinginan itu nyata adanya. Ia ingin bersekolah.

Namun, untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah memang berat, karena tidak ada SMP di sekitar pulaunya. Sekolah terdekat ada di Kota Tanjungpinang, Pulau Bintan.

Agar dapat bersekolah SMP, anak-anak Pulau Sembulang harus tinggal kos di pulau yang berjarak sekitar 2 jam menggunakan kapal kayu. Iya, kala itu hanya ada kapal pompong kayu kecil sebagai alat transportasi. Belum ada pelayaran reguler dengan kapal feri yang besar.

Tapi bukan itu yang membuat Fauziah ciut untuk melanjutkan pendidikan. Melainkan rasa tidak ingin menyulitkan orang tua yang membuatnya memutuskan untuk mengalah dan hanya bersekolah hingga SD.

Mimpi mengenyam pendidikan tidak pernah padam. Diam-diam, dia punya misi untuk mengejar ketertinggalannya.

Baca juga: Dignity of Srikandi Kartini Edition pertemukan empat tim MLBB Ladies

Menikahi guru

Tamat SD, Fauziah mengambil berbagai kursus singkat untuk menambah kepandaian. Tapi biaya pelatihan tidak sedikit, dan ia terlalu berat untuk meminta kepada orang tua. Maka ia memutuskan untuk bekerja, menjadi perempuan mandiri.

Segala pekerjaan telah ia coba, mulai dari membantu di restoran hingga kerja di pabrik. Namun, agaknya itu tidak cukup. Maka ia berangkat ke Malaysia.

"Saya bekerja mengasuh anak, ada dua anak kembar yang saya asuh," katanya.

Sembari bekerja, ia mengumpulkan uang. Tekadnya hanya satu, untuk kembali ke Tanah Air dan sekolah rias pengantin.

Mimpi sederhana itu ia bayar tunai. Setelah dua tahun di Malaysia, ia pulang dan menjadi perias pengantin. Bahkan yang ternama di Sembulang, hingga ke pulau-pulau sekitar di Barelang.

Fauziah pun menikah dengan seorang guru SMP. Ya, ironi. Perempuan tidak tamat SMP itu menikahi seorang guru SMP.

Semestinya hidup Fauziah sudah sempurna. Memiliki suami yang baik dan berpenghasilan tetap, anak-anak yang pintar, dan usaha salon yang terus berkembang.

Namun, mimpi untuk melanjutkan pendidikan terus terngiang-ngiang. Apalagi, anaknya semakin besar. Ia khawatir, apabila tidak menyegerakan sekolah, maka akan ada mimpi buruk..

Ia tidak mau menjadi momok bagi anak-anaknya yang semakin besar.

"Saya enggak mau anak saya malu ketika mengisi formulir. Pendidikan ayahnya S2, ibunya hanya tamat SD," kata Fauziah. Air mata mengalir di pipinya yang putih.

Maka, diam-diam, Fauziah yang aktif di PKK mengambil pendidikan kesetaraan paket B, yang dilanjutkan dengan paket C. Suaminya tidak tahu sama sekali.

Kepada suami, ia beralasan pergi ke kota untuk mengikuti pelatihan.

"Setelah paket C selesai, baru saya kasih tahu ke suami. Saya belajar diam-diam ke (Pulau) Batam," kata dia.

Baca juga: Kesetaraan gender maksimalkan produktivitas kerja

Kuliah

Mengantongi sertifikat kesetaraan SMA tidak membuat Fauziah berpuas hati. Ia pun menancapkan target berikutnya, lulus strata 1 dan strata 2.

Maka, ia menyampaikan kepada suaminya mimpinya yang baru, kuliah.

Beruntung, suami mendukung 100 persen keinginannya. Suaminya bahkan membantunya mendaftar di Universitas Terbuka. Kini Fauziah adalah mahasiswa semester delapan Jurusan Ilmu Pemerintahan Strata 1 Universitas Terbuka.

Sebelum pandemi, Fauziah harus menempuh pelayaran sekitar satu jam untuk sampai ke Pulau Batam. Dan itu dilakoninya setiap sepekan sekali, sesuai jadwal kuliah.

Namun, itu tidak pernah menjadi hambatan bagi tekad bajanya untuk menyerap banyak ilmu dan wawasan. Bahkan, ia berencana melanjutkan pendidikan mengambil magister setelah mengantongi gelar sarjana.

"Kawan-kawannya berusia di bawah saya. Mereka tanya, Ibu kerja di mana, kok kuliah. Mereka juga suka gurau, mudah-mudahan nanti kerja di Kantor Wali Kota," katanya menyunggingkan senyum.

Tapi sesungguhnya, ia menyatakan tidak bermimpi untuk bekerja di pemerintahan atau swasta. Ia tetap akan menjadi ibu rumah tangga yang mengisi waktu luang dengan membuka salon dan mengajar PAUD.

"Saya juga tidak ambil pusing kenapa pilih jurusan ilmu pemerintahan. Saya hanya ingin menambah wawasan," kata dia.

Sementara itu, masih dalam podcast yang sama, Tokoh Pendidikan Kepri, Hardi Selamat Hood menyatakan sejatinya ada banyak Fauziah-Fauziah lain di luar sana. Anak-anak muda yang sebenarnya ingin sekolah, namun tidak mendapatkan kesempatan.

Pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPD RI itu mengatakan, pernah bertemu sejumlah perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Setelah mengumpulkan banyak uang, kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan pendidikan.

Anak-anak pulau, kata dia, memiliki intelektual yang tidak kalah dengan anak-anak kota. Namun, mereka umumnya terkendala masalah pembiayaan untuk dapat melanjutkan pendidikan.

"Anak-anak pulau bisa menjadi lulusan terbaik," kata dia yang telah menyelesaikan pendidikan strata 3 di bidang pendidikan.

Hardi berharap, kisah Fauziah dapat menginspirasi anak muda untuk belajar dan bekerja lebih giat lagi.*

Baca juga: Pakar investasi katakan Kartini masa kini harus pintar kelola keuangan

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021