Jakarta (ANTARA) - Pemerintah perlu untuk betul-betul mengintegrasikan regulasi terkait dengan awak kapal ikan untuk memberikan perlindungan yang maksimal karena berdasarkan data Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia, hanya sekitar 30 persen yang memiliki kontrak kerja.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) M. Zulficar Mochtar dalam diskusi daring di Jakarta, Senin, mengatakan bahwa mengingat urusan awak kapal perikanan saat ini terfragmentasi dan tersebar di berbagai Kementerian dan lembaga menyebabkan upaya perlindungan yang dilakukan menjadi tidak maksimal.
"Perlu ada rencana aksi nasional yang mengingat strategi, program, kegiatan dan pendanaan dalam satu frame bersama agar isu ini dapat ditangani dengan lebih baik," kata Zulficar.
Ia mengingatkan bahwa berbagai kementerian saat ini memiliki mandat dalam penanganan awak kapal perikanan, antara lain KKP, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, BP2MI dan Kementerian Luar Negeri.
Baca juga: KKP tangkap lebih 50 kapal pelanggar regulasi selama triwulan I 2021
Pembicara lainnya Direktur SAFE Seas Project, Nono Sumarsono mengatakan selama ini keberadaan awak kapal perikanan tidak mendapat pengakuan seutuhnya oleh pemerintah, padahal mereka adalah kelompok rentan yang patut untuk dibela.
"Sistim pengupahan yang ada saat ini sangat tidak adil karena sistim bagi hasil yang berlaku bukan sharing profit tapi share risk," kata Nono.
Menurut dia, meski telah ditetapkan upah mereka setara atau diatas dengan Upah Minimum Provinsi tapi kenyataannya yang diterima oleh mereka jauh dari ketentutan tersebut.
Field Manager Destructive Fishing Watch Indonesia Laode Hardiani mengatakan bahwa pihaknya telah menginisiasi sistim deteksi dini dan pencegahan agar awak kapal perikana tidak terjebak pada praktik kerja paksa.
"Kami bekerjasama dengan Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara telah mendorong adanya dialog dengan perusahaan dan pemilik kapal yang ada di kota Bitung untuk membicarakan masalah yang muncul," kata Diani.
Baca juga: KKP kaji regulasi guna genjot produksi ikan kobia
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Iskindo Provinsi Jawa Tengah dan juga anggota DPRD Jawa Tengah, Riyono mengatakan bahwa upaya penguatan organisasi dan serikat awak kapal perikanan perlu dilakukan karena aturan sudah terlalu banyak tetapi penerapannya dinilai lemah.
Sebelumnya, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyampaikan masih menemukan adanya praktik ilegal dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penempatan anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing.
CEO IOJI Mas Achmad Santosa dalam webinar "Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihak dalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing", Rabu, mengatakan pihaknya telah melakukan penelitian lapangan di tiga lokasi di Indonesia yang menjadi lumbung pekerja migran perikanan Indonesia pada periode November 2020-Januari 2021.
"Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, kami menyimpulkan masih terjadi praktik-praktik ilegal dan pelanggaran HAM dalam proses sebelum, selama dan setelah ABK bekerja," katanya.
Santosa menjelaskan, penelitian lapangan di lakukan di Tegal, Pemalang (Jawa Tengah) dan Bitung (Sulawesi Utara). Penelitian lapangan tersebut melibatkan 48 ABK yang memiliki pengalaman bekerja di kapal Taiwan, China, Spanyol, Portugal dan Korea Selatan.
Santosa mengungkapkan, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan dari penelitian di lapangan terkait penempatan dan perlindungan ABK di kapal asing yang masih terjadi, yaitu terkait duplikasi kewenangan dalam rekrutmen dan penempatan ABK, perlunya database ABK yang terintegrasi, belum efektifnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM ABK dan pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) serta soal kesadaran dan pengetahuan terkait hak ABK dan calon ABK yang akan bekerja di kapal ikan asing.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021