"Kejahatan terorisme beda dengan kejahatan biasa, kalau dikumpulkan menjadi satu saya khawatir justru terjadi proses regenerasi," kata Ito Sumardi saat simposium nasional "Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme", di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, beberapa kasus menunjukan, penjara menjadi tempat yang bisa digunakan untuk merekrut teroris baru. Ia mencontohkan kasus Yuli Harsono, mantan anggota TNI AD yang dipecat dan dimasukkan ke penjara Sukamiskin Bandung karena menjual amunisi.
Yuli diduga direkrut dalam penjara itu oleh Omar Abdurrahman, pelaku terpidana kasus bom Cimanggis Depok 2004. Setelah keluar dari penjara, Yuli diidentifikasi menjadi pengikut teroris dan menyerang kantor polisi yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota polisi setempat.
"Proses rehabilitasi di Lapas belum selesai, perlu Lapas khusus teroris yang seperti diusulkan oleh Polri," katanya.
Ia juga mengatakan, u selama ini masih ada ketidaksepahaman antar penegak hukum. Menurut dia, seringkali para teroris tidak dijerat dengan pasal teroris namun fakta hukum lainnya. Alhasil, para teroris dihukum tidak sesuai dengan pelanggarannya.
"Untuk itu perlu kesepahaman, terutama dengan para hakim yang mengadili terorisme. Kita harapkan mereka yang mengadili ini memahami benar terorisme," katanya.
Ia menambahkan, saat ini Polri tengah mengirim anggotanya untuk melakukan studi di Prancis terkait dengan penanggulangan terorisme. Menurut dia, para hakim kasus teroris di Prancis memiliki kekhususan dalam memahami terorisme.
Sementara itu, kata dia, beberapa teroris yang telah keluar dari penjara kembali ke habitatnya semula. Beberapa kasus menunjukkan mereka masuk kembali dalam jaringannya.
Hal itu terjadi pada i jaringan Dulmatin yang banyak disokong residivis teroris seperti Encang Kurnia dan Ismet Hakiki yang terlibat dalam pengeboman Kedutaan Besar Australia 2004.
Begitu pula dengan jaringan Noordin M Top yang juga disokong residivis teroris seperti Air Setyawan dan Bagus Budi Pranoto alis Urwah.(M041/s018)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010