masih ada yang kau selipkan
di saku celana?
kami menanti karena bantuan
itu punya kami. engkau minta
kami diam di rumah, maka hilang
pencarian hidup. sedang kami tiap hari
mesti makan, seperti juga buang tahi
setiap pagi
sebelum mandi
kau takut pandemi, kami diperintah
tidak ke luar rumah; bahkan dirumahkan
dari pekerjaan. pasar tutup, tokotoko
dikunci. sedang kami harus menanak
nasi, agar perut kami terisi; tubuh
kami kuat melawan serbuan
pandemi covid 19 ini,
dan kami jadi pahlawan bagi negeri
negeri ini siapa punya? siapa kuasa bagi
orangorang seperti kami? diam dalam
rumah, dilarang mudik pada idul fitri
sepilah kami di rumahrumah sewaan
tanpa ketupat dan daging lebaran
tiada pakaian yang dibeli di pasar murah
layarlayar kaca cuma mengabarkan suaramu
suara kami kau letakkan di sudut mana?
pada pandemi corona kami takut
namun lebih ngeri keluarga mati tanpa makan
atau kecemasan sebab tiada penghasilan
pada pandemi covid 19 kau bisa kalah
pikiranmu semrawut seolah memperjuangkan
kami, tapi hidup kami dibiarkan derita
hanya menunggu diserbu virus corona
atau mati juga di rumah tanpa ada lagi
bisa untuk dimakan, tagihan kontrakan,
rekening listrik, serta hidup kami
yang digadai
begitulah kami
di jalan pandemi
kini, entah tahun berapa
karena kami benarbenar lupa
selain hari kematian
... pun liang kubur itu!
[pemakaman yang kadang
ditolak orangorang]
seperti ke tanah belum sampai,
ke langit menunggu restu
2020
.......
Sebuah puisi karya Isbedy Stiawan ZS ini yang termuat dalam bukunya bertajuk "Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu" yang ia buat pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 mulai melanda Tanah Air.
Bagi Isbedy Stiawan ZS, lelaki kelahiran Tanjungkarang (Lampung), 5 Juni 1958 ini, saat pandemi tak menyurutkan kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya.
Baginya dalam berkarya sama halnya berproses. Jadi tiap menulis karya, ayah enam anak ini selalu serius mengemban proses itu. Dan terus berlatih dengan memainkan imajinasi, mencari-cari diksi dan gaya yang lain.
Pada tahun 2020 suami dari Fitri Angraini, S.S., M.Pd menerbitkan buku puisi "Tausiyah Ibu", kumpulan cerpen "Aku Betina Kau Perempuan (terbitan Basabasi Yogyakarta), dan tahun ini menerbitkan 3 buku puisi dan 1 kumpulan cerpen.
Ketiga buku puisi itu adalah "Kau Kekasih Aku Kelasi", "Secangkir Kopi di Meja Kedai", "Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu", dan kumpulan cerpen "Malaikat Turun di Malam Ramadan".
Jadi, setahun pandemi ini ia telah menghimpun karyanya ke lima buku sastra, yang menurut pengakuannya diminati banyak pembaca. Misal, "Kau Kekasih Aku Kelasi" hanya tiga hari pre order sudah dipesan dan laku sebanyak 150 eksemplar lebih.
Menyusul saat ini adalah "Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu" yang sudah dipesan 30 eksemplar, "Secangkir Kopi di Meja Kedai" sudah laku 25 eksemplar.
Baca juga: Sastrawan Lampung Semacca Andanant terima Hadiah Sastra Rancage 2020
Baca juga: Sastrawan Timor Leste dapat jamuan makan khas Lampung
Sebagai saatrawan senior yang dijuluki HB Jassin sebagai Paus Sastra Lampung, yang menggemari sastra sejak SMP denegan membaca dan menulis kata-kata mutiara itu, belum merasa akan padam dalam berkarya.
Bahkan menurut pengakuan Ahmad Yulden Erwin--salah seorang sastrawan Lampung kepadanya, karya-karya Isbedy masih berkualitas. Dua kali 10 puisinya dimuat di grup FB yang dikelola Erwin, mendapat banyak like dan komentar cukup banyak. Komentar yang positif, seperti dari Beno Siang Pamungkas dan Acep Syahril.
Sebagai sastrawan terdepan di Lampung, dan alumni Puisi Indonesia 87 yang terproduktif ini, tentang proses kreatif dirinya menjadi tesis S2 Fitri Angraini di FKIP Unila, lalu dibukukan dengan judul "Proses Kreatif Isbedy Stiawan ZS" (2018).
Menurut Bang Is atau Bang Bedy, sapaan akrabnya, yang juga pernah aktif sebagai jurnalis di beberapa media cetak dan televisi lokal itu, semasa pandemi COVID-19 sejak Maret 2020, ketika diberlakukan berada di rumah saja, otomatis kegiatan bersastra juga dari rumah saja.
Sebagai sastrawan/seniman atau kreator, lanjutnya, berkarya tidak boleh mati. Jadi menulis tetap dilakukan, dan mengirim ke berbagai media massa. Hanya pertemuan ke kegiatan acara sastra seperti festival, ditunda.
Pada bulan-bulan pertama berada di rumah karena pandemi, ia mengaku sempat kaget. Untung saja, Arief Mulyadin dari Djadin Production mengajaknya berkolaborasi; membuat video baca puisi di youtube Paus Sastra Lampung. Perdaya tayang Juni 2020, 4 bulan kemudian sudah monetisasi. Kini tercatat 1.310 subscribe.
Selain menggarap cannel Paus Sastra Lampung, lelaki dengan ciri khas rambut gondrong ikal dan bertopi serta mengenakan jaket saat tampil membacakan karyanya itu, juga membaca puisi melalui zoom yang diadakan Arcana Production bekerjasama dengan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, serta di sejumlah media sosial lain seperti IG dan FB, serta WA. Baca puisi, diskusi, ataupun workshop penulisan puisi.
Pada tahun 2020, buku puisinya "Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua" masuk 5 besar buku puisi pilihan Majalah Tempo, "Kini Aku Sudah Jadi Batu! juga terpilih sebagai 5 besar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI.
Menyinggung tentang perkembangan sastra di Lampung, menurut Isbedy yang telah banyak meraih predikat juara tingkat nasional baik dari menciptakan puisi maupun cerpen, satu sisi menggembirakan karena munculnya sastrawan. Tetapi kemunculan mereka di tengah minimnya kurasi yang berkulitas dan makin hilangnya rubrik sastra di media.
Mereka hadir di festival, penerbitan-penerbitan antologi sastra. Tetapi, kurasi yang kurang ketat. Berbeda pada masa dirinya di tahun-tahun 1980-1998, persaingan sangat ketat. Kurator atau redaktur sekelas Abdul Hadi, Sutardji, Nirwan Dewanto, Hasif dan lain-lain. Jadi masuk kurasi mereka dan dimuat media yang diasuhnya, sangat membanggakan. Seperti kalau karya yang juga lolos dari kurasi Umbu Landu Paranggi dan dimuat Bali Pos atau Nusa Bali.
Sementara kemunculan para penyair kiwari, karena media sosial (FB/IG), jadi - maaf katanya- terasa instan.
Baca juga: Lapah wadah ekspresi seni tari kontemporer masyarakat Lampung
Baca juga: Tiga generasi perupa Lampung gelar pameran bersama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021