Tanjungpinang (ANTARA News) - Pakar politik Zamzami A Karim berpendapat tidak perlu ada dewan kehormatan untuk Badan Pengawas Pemilihan Umum yang bersama jajarannya diberi wewenang memantau pelaksana pemilu dan penyelenggaranya.
"Rencana pembentukan dewan itu tidak tidak tepat, karena dapat menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan dan pengawasan pemilu," ujarnya, di Tanjungpinang, Minggu.
Menurut Zamzami yang adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kota Tanjungpinang, angggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun jajarannya, lebih tepat diproses secara hukum jika perbuatannya dianggap memenuhi unsur pidana.
Pembentukan Dewan Kehormatan (DK) Bawaslu harus mempertimbangkan masa kerja anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat provinsi dan kabupaten kota yang hanya berlangsung setahun.
Masa jabatan anggota Panwaslu berakhir satu bulan setelah calon kepala daerah terpilih dilantik.
Sementara sanksi pelanggaran kode etik yang diberikan DK yang paling berat adalah pemecatan.
Dikhawatirkan, katanya, proses persidangan DK Bawaslu tidak berdampak pada oknum Panwaslu yang melakukan pelanggaran kode etik.
"Kondisi itu sebaiknya diperhatikan sehingga ketentuan yang dibuat tidak sia-sia," ungkapnya.
Menurut dia, sistem yang terbangun dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oknum anggota KPU sudah tepat, karena lembaga tersebut memiliki wewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu dan masa jabatannya berlangsung lima tahun.
KPU itu diibaratkan sebagai wasit pada pemilu yang harus bersikap adil dan terbuka.
Jika mereka melakukan pelanggaran, maka harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Kalau pengawas wasit melakukan pelanggaran juga, maka hasil pemilu dapat diragukan masyarakat," ujarnya.
KPU dan Bawaslu
Sementara itu Ketua KPU Kepri Den Yealta menyatakan Bawaslu beserta jajarannya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat dijatuhi sanksi meski melanggar kode etik dalam mengawasi pelaksanaan pesta demokrasi, karena belum ada ketentuan yang mengatur sistem pelaporan terhadap permasalahan itu.
"Anggota Bawaslu beserta jajarannya tidak dapat disentuh DK, karena memang belum ada ketentuan yang mengatur permasalahan itu," ujar Den Yealta.
Sedangkan anggota KPU pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dalam melaksakan pesta demokrasi langsung ditindaklanjuti Bawaslu dengan memberikan rekomendasi pembentukan Dewan Kehormatan.
"Namun ketentuan untuk pembentukan DK Bawaslu dalam proses pembahasan. Pembahasan terakhir mengalami ditunda, karena berbagai alasan," katanya.
Sementara KPU menemukan beberapa pelanggaran yang diduga dilakukan Bawaslu beserta jajarannya, yang tidak dapat ditindaklanjuti karena belum memiliki payung hukum.
Salah satu dugaan pelanggaran yang akan dibuktikan dalam sidang DK KPU adalah surat kuasa Bawaslu kepada Panwaslu Kepri untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan KPU Kepri.
"Saya akan membeberkan seluruh pelanggaran yang diduga dilakukan Bawaslu beserta jajarannya di dalam sidang DK," ungkapnya.
Den Yealta yang juga menjabat sebagai Ketua Pokja Pencalonan KPU Kepri direkomendasikan Bawaslu untuk diperiksa DK KPU, karena diduga melakukan pelanggaran kode etik pada tahapan pencalonan Pilkada Kepri 26 Mei 2010.
Bawaslu menduga Den Yealta melakukan pelanggaran kode etik karena menetapkan calon Gubernur dan Wakil Gubernur nomor urut dua dan tiga, HM Sani-Soerya Respationo dan Aida Zulaikha Ismeth-Eddy Wijaya, yang mendapatkan surat keterangan tidak sedang dinyatakan pailit dari Pengadilan Negeri Tanjungpinang dan Batam.
Selain itu Bawaslu juga mempermasalahkan keikutsertaan Den dalam kampanye suaminya, Sofyan Syamsir, di Desa Batubi Jaya, Kabupaten Natuna.
Den Yealta, menurut Bawaslu, diduga ikut mengampanyekan suaminya yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kepri pada Pemilu Legislatif 2009.
Den sudah membantah tuduhan Bawaslu dengan menyatakan kehadirannya di Desa Batubi dalam rangka kunjungan kerja, tidak berhubungan dengan kampanye suaminya.
"Fokus permasalahan yang disidangkan DK KPU berkaitan dengan surat keterangan tidak pailit calon gubernur dan wakil gubernur, sedangkan hal lainnya berkembang di dalam persidangan," katanya. (NP/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010