Serang (ANTARA News) - "Sidang Susila" yang dipentaskan Teater Syahid Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, menyuguhkan kritik satir terhadap kekonyolan hukum dan politisasi moral yang terjadi di negeri ini.
Teater naskah Ayu Utami berdurasi sekitar dua jam itu dipentaskan di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang, Banten, Minggu.
Sidang Susila bercerita tentang pedagang balon bernama Susila, yang harus mendekam di penjara karena balon yang dijualnya dianggap melanggar norma susila oleh rezim yang memonopoli kebenaran moralitas.
Susila dianggap melanggar Undang-undang anti pornografi dan pornoaksi, sebab balon yang dijual Susila untuk mainan anak-anak itu, diserupakan dengan bentuk (maaf) payudara wanita oleh aparat penegak hukum dan moral di negeri itu.
"Balon yang dijual Susila bisa meracuni pikiran anak-anak dan masyarakat kita. Maka susila harus dianggap bersalah," ujar seorang polisi dalam teater.
Menjelang diadili, Susila masih enggan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Maka hakim, polisi, dan jaksa serta para intelijen pun berjibaku untuk meluluhkan Susila.
Tapi ternyata, sang intelijen yang kemudian mencintai Susila berbalik arah, ingin melepaskan Susila.
"Dia tidak bersalah, konspirasi ini harus diakhiri, sebaiknya Susila dikeluarkan dari penjara," begitu pikir sang agen berkode 36 B yang sebelumnya menyamar sebagai penari tayub, dan kemudian memacari Susila.
Sang agen berhasil membebaskan Susila, negara pun geger. Maka dibentuklah gerilyawan antimaksiat (GAM) yang ditugaskan mencari Susila.
Pencarian Susila tak berhasil. Negara kemudian dinyatakan dalam keadaan darurat moral. Namun pengadilan tetap dilanjutkan dengan terdakwa in absentia.
Karena Susila tak bisa dihadirkan, maka hakim memutuskan kloset di ruang tahanan Susila sebagai terdakwa pengganti. Dan Kloset pun diputuskan bersalah, karena terbukti di dalamnya terdapat sidik kotoran Susila.
Menariknya, dalam diskusi usai pementasan, beberapa penonton memprotes sutradara, karena pementasan itu dianggap terlalu vulgar.
"Sebenarnya, ini merupakan otokritik bagi kita dan negeri kita sendiri. Terutama untuk para penegak dan pembuat hukum di negeri ini. Bagaimana mereka membuat undang-undang antipornografi, sementara moral mereka sendiri dipertanyakan," kata Sutradara Sidang Susila Ozzy Esha.
Meski ia dan kawan-kawannya tak setuju dan prihatin dengan maraknya pornografi dan pornoaksi, tetapi Ozzy mengaku melihat kelucuan dalam UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Apalagi ketika semua pihak berusaha menghakimi wilayah yang abu-abu.
"Ada kelucuan dengan tatanan hukum di negeri ini. satu contoh, dalam hal pemeran adegan porno, ada yang saat ini dipenjara, tetapi ada juga yang malah saat ini mencalonkan diri jadi bupati. Tak ada maksud apapun dengan pementasan ini, selain keinginan agar wacana ini terus bergulir. Jangan sampai wacana ini dikuasai satu pihak saja," katanya.(*)
(ANT-153/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010