Jakarta (ANTARA News) - Federasi Serikat Pekerja Pariwisata SPSI mendesak pemerintah menghapuskan sistem kerja outsourcing yang dinilai banyak merugikan kalangan pekerja serta tidak memberikan kepastian jaminan masa depan mereka.

"Kepedulian kita sekarang ini adalah bagaimana mengatasi persoalan outsourcing. Pola hubungan kerja dengan outsouring tersebut merupakan bentuk perbudakan di era saat ini," ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Yoris Raweyae saat pembukaan Kongres V organisasi pekerja itu di Jakarta, kemarin.

Menurut Yories yang juga anggota Komisi I DPR itu, outsourcing tersebut pada awalnya hanya untuk membantu kalangan industri dan para pengusahanya dalam mengatasi krisis yang sifatnya temporer saja.

Selanjutnya setelah satu tahun bekerja kontrak sebagai tenaga outsourcing, orang tersebut seharusnya sudah ada kepastian apakah menjadi karyawan tetap atau tidak.

Jadi, Yories menambahkan, tidak boleh sistem kerja outsourcing tersebut diteruskan menjadi sesuatu yang permanen karena artinya para pekerja akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

"Dalam outsourcing itu tidak ada jaminan masa depan buat para pekerjanya. Demikian pula jika terjadi PHK, maka mereka juga tidak akan mendapatkan hak-haknya. Persoalan inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah dan harus ada regulasi yang tegas terkait penghapusan outsourcing," ujar Yories.

Pada bagian lain, Yories yang juga politisi Partai Golkar itu mengatakan, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata SPSI juga mempersoalkan keberadaan Jamsostek yang dianggap belum banyak memberikan sumbangan pada peningkatan kesejahteraan pekerja di seluruh Indonesia. Padahal Jamsostek itu ada karena hasil keringat para pekerja.

"Tidak usah jauh-jauh, apakah Jamsostek pernah memikirkan membangun rumah-rumah susun sederhana untuk para pekerja? Belum lagi untuk pelayanan jaminan kesehatan dan hari tua yang tidak pernah jelas bagi pekerja," ujarnya.

Oleh karena itu, kalangan pekerja di sektor pariwisata menuntut pemerintah agar melakukan kaji ulang terhadap keberadaan Jamsostek tersebut.

Terkait desakan kalangan pekerja pariwisata itu, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Mira Handatani mengatakan bahwa pihaknya telah mencatat aspirasi yang berkembang di masyarakat itu untuk kemudian dibicarakan bersama-sama dengan pemerintah.

Sementara itu dalam sambutan tertulis Menakertrans Muhaimin Iskandar yang disampaikannya, Mira menjelaskan bahwa sektor pariwisata merupakan kontributor yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 sektor pariwisata ini telah menyumbangkan devisa negara sekitar Rp200 triliun yang langsung masuk ke kantong-kantong rakyat, yakni sebanyak Rp123,17 trilun dari wisatawan nusantara dan Rp80 triliun dari wisatawan mancanegara melalui program Kenali Negerimu Cintai Negerimu dan Visit Indonesian Year 2008.

Dikemukakannya pula bahwa usaha meningkatkan sektor pariwisata itu tidak bisa dilepaskan dari peranan tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut.

Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2007, jumlah tenaga kerja yang bergerak di bidang pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung, berjumlah 4,41 juta orang.

Pada kesempatan itu, pemerintah berharap perhelatan serikat pekerja pariwisata itu mampu menghadirkan pikiran-pikiran baru yang bisa dijadikan bahan masukan bagi perumusan kebijakan dibidang ketenaga kerjaan dan hubungan industrial pada khususnya.

Kongres V Federasi Serikat Pekerja Pariwisata itu diikuti oleh perwakilan DPD-DPD Federasi SP Pariwisata se-Indonesia dan salah satu agendanya adalah memilih kepengurusan yang baru serta menyusun program kerja untuk mewujudkan Serikat Pekerja Pariwisata yang moderen, mandiri dan profesional. (*)

(T.D011/A011/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010