Jakarta (ANTARA) - Kerja secara hibrida, campuran bekerja di kantor dan di luar kantor, yang belakangan ini semakin populer merombak pola kerja dan pemahaman mengenai kantor atau tempat bekerja.
"Kerja hibrida mendorong kita untuk mengesampingkan asumsi lama tentang bagaimana orang perlu bekerja di tempat yang sama, pada waktu yang sama, agar dapat menjadi produktif dan membawa dampak nyata. Ini adalah perubahan besar," kata Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Haris Izmee, dalam siaran pers, dikutip Sabtu.
Kerja hibrida berupa campuran model kerja, sejumlah karyawan bekerja di kantor, lainnya bekerja dari jarak jauh. Sejak pandemi virus corona, banyak perusahaan yang menerapkan metode kerja ini untuk menjaga jarak fisik dan agar kapasitas kantor tidak penuh.
Baca juga: 70 persen karyawan khawatir soal privasi data saat WFH
Microsoft dalam laporan Work Trend Index 2029 "The Next Great Disruption Is Hybrid Work - Are We Ready?" ada peluang dan tantangan dengan pola kerja hibrida, termasuk di Indonesia.
Temuan Microsoft, ada 83 persen pekerja di Indonesia yang menginginkan opsi kerja jarak jauh yang fleksibel, sementara 72 persen pemimpin perusahaan berencana merancang ulang kantor untuk mendukung kerja hibrida.
Metode kerja dari jarak jauh juga menjadi daya tarik bagi pencari kerja, opsi kerja dari jarak jauh merupakan salah satu pertimbangan utama untuk pindah kerja.
Kerja dari jarak jauh selama setahun belakangan terbukti memberikan keleluasaan bagi karyawan dan waktu yang lebih banyak untuk keluarga. Meski pun begitu, ada beberapa hal yang harus diwaspadai seperti interaksi dengan rekan kerja menurun (40 persen) dan beban kerja bertambah (61 persen).
Karyawan juga mengalami kelelahan digital, salah satunya karena intensitas dan durasi rapat.
Microsoft juga menemukan ada kesenjangan antara apa yang dirasakan pemimpin perusahaan dengan pekerja. Di Indonesia, 53 persen pemimpin mengatakan mereka semakin berkembang, sementara 33 persen pekerja merasa perusahaan terlalu banyak meminta.
Tahun ini, akan ada tujuh trend kerja secara hibrida, yaitu sistem kerja fleksibel akan tetap ada, pemimpin kurang terhubung dengan karyawan dan dibutuhkan peningkatan kesadaran akan hal ini, dan produktivitas tinggi akan berakibat pada kelelahan bekerja.
Selain itu, generasi Z berisiko mengambil kesulitan dan membutuhkan penyegaran energi kembali, interaksi yang berkurang akan membahayakan inovasi dan autentisitas akan memacu produktivitas dan kesejahteraan.
Kerja hibrida juga memungkinkan talenta kerja ada di mana pun.
Berdasarkan tren kerja hibrida saat ini, Microsoft merekomendasikan perusahaan membuat rencana untuk memberdayakan orang dengan fleksibilitas tinggi, memperbanyak kolaborasi dan membiasakan istirahat untuk mengatasi kelelahan digital.
Studi Microsoft tentang aktivitas gelombang otak, jeda antar rapat memungkinkan otak untuk melakukan "pengaturan ulang", mengurangi penumpukan stres secara kumulatif.
Perusahaan juga perlu menata ulang ruang dan teknologi untuk menjembatani dunia fisik dan digital dan membangun kembali aspek sosial dan budaya di perusahaan.
Tak kalah penting, pertimbangkan kembali pengalaman karyawan untuk dapat bersaing mendapatkan talenta terbaik dan beragam.
Baca juga: Tiga "skill" penting untuk ibu jadi "mompreneur" di rumah
Baca juga: Pentingnya ayah luangkan waktu untuk anak meski WFH
Baca juga: Riset sebut karyawan memilih bekerja secara daring atau hibrida
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021