Walaupun sudah ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut tapi masih banyak pelaku usaha yang belum melaksanakan ketentuan tersebut. Akhirnya banyak buruh dan pekerja perikanan yang bekerja tanpa asuransi

Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan, menyatakan Perjanjian Kerja Laut dalam pekerjaan di sektor kelautan dan perikanan harus benar-benar berorientasi kepada kesejahteraan buruh atau pekerja.

"Walaupun sudah ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut tapi masih banyak pelaku usaha yang belum melaksanakan ketentuan tersebut. Akhirnya banyak buruh dan pekerja perikanan yang bekerja tanpa asuransi," kata Abdi Suhufan di Jakarta, Sabtu.

Hal itu, ujar dia, banyak ditemukan pihaknya di Merauke (Papua), Dobo (Maluku), Jakarta, Tegal (Jawa Tengah) dan Benoa (Bali). Akibat nya, katanya, jika ada perselisihan atau kecelakaan kerja, maka pihak buruh dan pekerja yang kerapkali dirugikan.

"Kami sarankan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang tata kelola awak kapal perikanan yang merupakan turunan UU 27/2021 tentang penyelenggaraan kelautan dan perikanan," katanya.

Abdi memaparkan, dalam regulasi tersebut diusulkan setidaknya memuat dan mengatur transparansi dan keadilan sistim rekruitmen, sistim pengupahan, orientasi dan pelatihan bagi para buruh dan pekerja perikanan, serta akses, standarisasi dan kompetensi bagi para pekerja, kemudian adanya pusat layanan dan mekanisme pengaduan bagi para pekerja.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan bahwa kondisi buruh perikanan rata-rata jauh lebih buruk di tengah pandemi, akibat lesunya ekonomi di sektor perikanan yang berdampak pada menurunnya produktivitas kerja.

"Alhasil, hal-hal terkait dengan kesejahteraan buruh di sektor perikanan mengalami pengurangan, dan bahkan penghapusan fasilitas, seperti THR (Tunjangan Hari Raya) dikurangi atau bahkan dihapuskan," katanya.

Terkait THR, Moh Abdi Suhufan menyatakan, pemerintah perlu untuk betul-betul memastikan bahwa pekerja di laut seperti awak kapal ikan harus mendapatkan THR secara penuh.

"Saat ini kalau pekerja di laut seperti awak kapal perikanan belum pernah menerima THR," kata Moh Abdi Suhufan.

Menurut dia, dalih yang diberikan perusahaan biasanya adalah karena THR adalah kebijakan dan kewajiban perusahaan yang diberikan pekerja tetap.

Masalahnya, ujar Abdi, awak kapal perikanan rata-rata bukan pekerja tetap. "Walaupun ada kontrak, tapi sistem upahnya bagi hasil dan bukan gaji bulanan," katanya.

Untuk itu, ia menyatakan bahwa KKP perlu mendorong pelaku usaha agar awak kapal perikanan yang bekerja untuk mereka dapat ditetapkan sebagai pekerja formal dan bukan informal seperti yang selama ini terjadi.

Dengan perubahan status menjadi pekerja formal, lanjutnya, maka akan berdampak kepada perbaikan sistem pengupahan, jaminan sosial termasuk THR.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengingatkan dunia usaha untuk membayar Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerja menjelang Hari Raya Idul Fitri 1422 H, karena pemerintah sudah memberikan banyak stimulus untuk meringankan beban usaha selama pandemi.

Pemberian THR ke pekerja, ujar Airlangga di Jakarta, Rabu (7/4), menjadi salah satu mesin penggerak konsumsi masyarakat. Dengan pencairan THR, dia memperkirakan akan terdapat tambahan dana beredar ke pasar sebesar Rp215 triliun.

Baca juga: Menaker tegaskan komitmen pelindungan ABK perikanan Indonesia

Baca juga: DFW: Kenali indikator kerja paksa di dalam sektor perikanan

Baca juga: Pekerja perikanan diingatkan perbanyak pelatihan risiko kerja

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021