Jakarta (ANTARA) - Memasuki tahun kedua pandemik COVID-19, bukannya mereda situasinya, malah kian mengerikan. India mempertontonkan kengerian itu.
Dalam pekan-pekan terakhir, seluruh dunia dibuat prihatin, bergidik menyaksikan berbagai gambar gerak tentang situasi di New Delhi, Agra dan kota besar India lainnya.
Rumah sakit, tempat pembakaran jasad kewalahan menerima permintaan layanan dari masyarakat yang membutuhkan. Berturut-turut kasus baru harian infeksi COVID-19 di India bisa mencapai di atas 300.000 kasus, dengan kematian yang kian melonjak di atas angka 2.000.
Hampir semua negara, termasuk Indonesia, membatasi bahkan melarang kedatangan pesawat dari India karena kekhawatiran membawa virus varian India, yang penyebaran-nya super cepat dan lebih ganas dibandingkan varian Inggris, Afrika Selatan dan Brazil.
Di Tanah Air, situasi kengerian dampak pandemik memang tak segawat India. Namun, banyak kalangan seperti pakar medis mewanti-wanti untuk waspada jangan sampai apa yang terjadi di India juga terjadi di Indonesia. Jangan sampai kematian bergelimang akibat COVID-19.
Dalam skala yang lebih rendah, Indonesia dalam aspek-aspek tertentu menyerupai India. Sama-sama memiliki kota-kota yang padat penduduk.Sama-sama memiliki perayaan keagamaan yang melibatkan jumlah penduduk mayoritas.
Bila kewaspadaan atas penyebaran COVID-19 dikendorkan, seperti menenggang warga mudik menjelang dan saat Lebaran Idul Fitri, tak mustahil lonjakan kasus dan kematian akibat COVID-19 bisa terjadi. Untunglah pemerintah memutuskan melarang dengan tegas warga yang mudik Lebaran.
Kira-kira apa yang bisa dipetik dari situasi memprihatinkan akibat kesintasan pandemik ini? Semua orang mulai punya kesadaran etis sekaligus religius bahwa COVID-19 adalah ancaman kematian.
Ancaman itu menjadi semakin nyata bagi para warga yang memasuki usia senja, katakanlah 60 tahun ke atas, meski fakta mutakhir memperlihatkan bahwa korban maut akibat COVID-19 juga melanda mereka yang berusia di bawah 50 tahun.
Bagi rata-rata manusia normal, ketika ancaman kematian kian nyata di depan mata, muncullah kesadaran untuk pelan-pelan menyiapkan diri menerima nasib naas menjadi korban COVID-19.
Baca juga: Kades divonis 8 tahun karena terbukti gelapkan BLT COVID-19 untuk Judi
Baca juga: KPK panggil tujuh saksi dugaan korupsi tanggap COVID-19 Bandung Barat
Kesadaran semacam itu tentu tidak berhenti sampai di situ. Manusia normal akan berusaha memperbanyak kebaikan kepada orang lain dan memperkecil tindakan-tindakan yang merugikan, mencelakakan orang lain.
Ancaman kematian yang terjadi prapandemik adalah penyakit yang konvensional, yang menyerang ketahanan dan kekuatan tubuh melawan penyakit. Orang yang menghadapi ancaman kematian dengan penyakit konvensional biasanya hanya bisa tergolek di tempat tidur. Keterbatasan fisik memaksa orang itu untuk tidak punya kekuatan melakukan kejahatan. Andaikan si sakit itu seorang yang berkuasa, dia tak lagi punya kemampuan menggelembungkan nilai proyek, menilap dana masyarakat.
Namun, ancaman kematian oleh COVID-19 tidak punya daya paksa seperti penyakit jantung, lever atau ginjal yang membuat orang bersangkutan lebih banyak di atas ranjang rumah sakit. Sebelum berubah menjadi ranjang kematian.
Artinya, ancaman kematian COVID-19 masih memungkinkan orang-orang yang sangat berkuasa, berkuasa, agak berkuasa bahkan kurang berkuasa untuk melakukan kejahatan seperti korupsi, misalnya.
Pertanyaannya adalah: masih adakah niat untuk berkorupsi di masa ketika banyak teman, saudara, tetangga, temannya teman, yang sebulan lalu masih bisa diajak bercanda bersama, bahkan masih bisa menulis artikel di koran, tiba-tiba dikabarkan tutup usia setelah berjuang melawan COVID dalam hitungan pekan, bahkan hari?
Orang-orang yang berbuat jahat atau korup karena keterpaksaan--misalnya kondisi ekonomi yang pas-pasan--di masa krisis sosial agaknya masih bisa dimaklumi. Tapi bagaimana dengan mereka yang sudah berkecukupan bahkan berkelimpahan tapi masih nekat mencuri harta negara di masa pandemik ini?
Pertanyaan seperti itu selalu mendapat jawab yang nisbi. Artinya, mereka yang berkelimpahan itu adalah kumpulan manusia yang punya latar belakang iman, sosial, psikis yang bervariasi. Kombinasi latar belakang itu akan melahirkan sosok-sosok yang tak seragam. Jadi akan selalu ada orang yang nekat untuk tetap korupsi di masa apa pun, dan ada orang yang menyadari bahwa hidupnya dalam ancaman kematian dan inilah saatnya untuk menjauhi yang munkar.
Pada akhirnya, seperti yang sudah dibuktikan oleh negara-negara yang sejarah birokrasi cukup panjang, korupsi hanya bisa diberantas dengan sistem administrasi kenegaraan yang transparan, dijaga oleh sistem politik yang matang, yang pilar-nya adalah penegakan hukum.
Jalankan dengan tegas
Sistem administrasi Amerika Serikat tampaknya pantas dijadikan ilustrasi di sini. Kasus yang dijadikan contoh adalah yang menyangkut (mantan) Menteri Luar Negeri Mike Pompeo di bawah kepresidenan Donald Trump.
Ketika menjabat sebagai Menlu, oleh kolomnis The New York Times Thomas L. Friedman, Pompeo dibeberkan ke publik tentang kelakuan buruknya yang tak etis yakni memerintahkan pegawai Deplu AS melakukan tugas-tugas pribadi-nya, juga tugas-tugas pribadi istri-nya.
Biasa, saat menjadi bos puncak di Departemen tersebut, perbuatan Pompeo itu cuma menjadi percakapan dari mulut ke mulut. Namun, setelah Pompeo tak menjabat dan pemerintahan baru di bawah Joe Biden berkuasa, badan federal yang menangani pelanggaran etis itu mulai bekerja untuk menyelidiki berbagai pelanggaran etis yang dilakukan Pompeo.
Begitulah sistem administrasi yang dijalankan dengan tegas untuk meminimalkan korupsi dalam segala bentuknya.
Baca juga: Saksi ungkap proses Sritex jadi vendor "goody bag" bansos sembako
Baca juga: Saksi sebut Juliari Batubara rekomendasikan penyedia tas bansos COVID
Ada faktor lain yang mengakibatkan korupsi tetap marak dalam sebuah sistem sosial. Faktor itu berkaitan dengan pemahaman yang keliru tentang kebaikan akan menghapus keburukan. Ada orang-orang yang punya tafsir gaya Robinhood, yang mencuri untuk beramal. Masalahnya, dalam kiprah Robinhood ada nilai emansipatoris dan keadilan. Sang hero mencuri dari orang kaya yang dianggap korup dan hasilnya dibagikan kepada kaum papa. Ini pun ditentang oleh sistem iman apa pun dan peradaban modern mana pun.
Namun, mencuri uang negara--yang sama artinya mencuri dari hak-hak anak yang kelaparan, orang melarat--tak bisa diimbangi dengan berbuat baik seperti apa pun. Itu sebabnya, dalam negara yang tinggi tingkat ketimpangan sosial ekonominya, menyadarkan akan betapa destruksinya korupsi bisa dimulai dengan pemahaman bahwa banyaknya kemiskinan, busung lapar, perkampungan kumuh, rumah sakit yang miskin fasilitas serta gedung sekolah yang gampang ambruk adalah refleksi dari korupsi.
Pandemik yang menyuguhkan ancaman nyata kematian adalah sinyal untuk mengetahui seberapa banyak orang yang memiliki kesadaran metafisik akan berhenti untuk berbuat korup.
Copyright © ANTARA 2021