"Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII memberikan banyak teladan bagi kita, dan beliau adalah satu-satunya Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang rela turun tahta untuk memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda," kata sutradara pementasan ketoprak ini, M Sugiarto, di Yogyakarta, Jumat.
Ia mengatakan dalam tradisi keraton, biasanya seorang raja turun tahta jika sudah wafat. "Tetapi tidak demikian dengan HB VII yang `Lereh Keprabon` setelah berhasil menata Yogyakarta," katanya.
Menurut dia, HB VII turun tahta dengan terlebih dahulu mempersiapkan putra mahkotanya sebagai penggantinya, dan konsep kepemimpinan seperti ini merupakan sesuatu yang luar biasa.
Sugiarto mengatakan pentas ketoprak ini sekaligus merupakan sentilan terhadap para pemimpin di Indonesia yang gemar berebut, dan menyalahgunakan kekuasaan.
"Pada masanya, HB VII adalah pemimpin yang revolusioner. Beliau adalah pemimpin pertama yang mendirikan sekolah untuk rakyat yang berdiri di luar tembok keraton. HB VII juga memfasilitasi berdirinya Muhammadiyah dengan mengirim KH Ahmad Dahlan untuk belajar agama di Tanah Suci," katanya.
Selain itu, kata dia, Sultan HB VII berhasil memakmurkan rakyatnya dan menata kota Yogyakarta setelah dilanda bencana gempa bumi, yang salah satunya adalah dengan merenovasi tugu "pal putih".
"Di bidang ekonomi, beliau mendirikan 17 pabrik gula untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, dan salah satu di antaranya masih berdiri sampai sekarang, yaitu Pabrik Gula Madukismo," katanya.
Sultan HB VII bertahta selama 43 tahun, sebelum mundur pada 29 Januari 1921 pada usia 81 tahun. "Setelah lengser beliau menghabiskan waktunya dengan menyepi di Pesanggrahan Ambarrukmo," katanya.
HB VII wafat tepat di hari ulang tahunnya, ke-82, dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (ANT158/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010