Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum sepakat mengenai penyelenggaraan sidang bersama dengan agenda penyampaian pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait APBN dan nota keuangannya.
Belum adanya kesepakatan mengenai sidang bersama terungkap dari pernyataan Ketua DPR RI Marzuki Alie dan Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR John Pieris kepada pers di tempat terpisah di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Jumat.
Marzuki membantah bahwa pimpinan DPR arogan dan otoriter dengan tidak menyetujui adanya sidang bersama kedua lembaga perwakilan rakyat itu. Dia berharap, kalangan DPD RI mempelajari peraturan dan perundangan yang ada karena jika hal itu dipaksakan, maka sama saja DPD meminta DPR melanggar UU.
Dia meminta kepada pihak yang belum paham untuk menanyakan hal ini pada pimpinan DPR.
"Hal ini menyangkut institusi dan bukan pimpinan DPR yang belum berpengalaman. Pimpinan DPR dan DPD sebenarnya sudah duduk bersama untuk membicarakan hal ini dan sudah ada titik temu dan kita upayakan untuk mengimplementasikannya, namun kemudian kita menyadari bahwa jika kita sidang bersama, artinya Presiden harus datang tiga kali ke parlemen. Satu untuk DPR, satu untuk DPD dan satu lagi untuk bersama," katanya.
DPR awalnya sudah sepaham untuk menyelenggarakan sidang bersama, namun dalam UU APBN dan nota keuangan tertulis bahwa Presiden menyampaikan RUU tersebut hanya di depan DPR. "Hal ini karena untuk penyampaian pidato kenegaraan mengenai pengesahan UU APBN hanya bisa disampaikan di depan DPR, jika DPD hadir sebagai apapun, maka itu melanggar konstitusi. Kita `kan tidak mau melanggar konstitusi," jelasnya.
Menurut dia, bisa saja dibuat sidang bersama, namun DPD harus mengalah untuk tidak melakukan sidang sendiri, namun sidang bersama. "Sangat tidak mungkin meminta Presiden untuk hadir ke parlemen tiga kali di parlemen. UU No.27/2009 tentang MD3 juga tidak membolehkan," katanya.
Menurut dia, kalau mau sidang bersama, DPR dan DPD harus membuat tatib sidang bersama terlebih dahulu. Harus melalui mekanisme bamus yang hanya tinggal satu kali masa sidang.
"Jadi sangat tidak mungkin hal itu dilakukan sekarang. Anggaran untuk satu kali sidang saja sudah menghabiskan ratusan juta rupiah, gimana jika dibuat tiga kali," katanya.
Marzuki juga menjelaskan, proses di DPR tidak sama dengan DPD karena anggota DPR bukan bawahan pimpinan DPR. "Itu kan juga harus dibicarakan dulu dengan fraksi, apakah bisa menerima atau tidak. Jadi ini bukan keputusan pimpinan DPR saja. Ini tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat mengingat tanggal 30 Juli DPR sudah memasuki masa reses," katanya.
Sedangkan John Pieris menilai pimpinan DPR menolak sidang paripurna bersama DPD dalam rangka penyampaian pidato kenegaraan dan nota keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 16 Agustus.
Padahal, kata dia, pelaksanaan sidang bersama itu telah diamanatkan Undang-Undang Tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD. Pimpinan DPR menolak dengan dalih belum ada tata tertib yang mengatur sidang bersama.
John mengatakan, alasan itu tidak masuk akal karena sidang bersama telah diatur undang-undang. Ia mengungkapkan, perundingan sebanyak tiga kali antara pimpinan DPD dan DPR, gagal mencapai kesepakatan.
Dia menambahkan, jika sidang bersama gagal dilaksanakan, maka DPR dan DPD akan melanggar undang-undang dan demikian juga dengan Presiden. (S023/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010