Jakarta (ANTARA) - Pemberlakuan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menekankan pentingnya investasi yang bakal bermanfaat dalam beragam hal, termasuk membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan bagi negara.
Untuk itu, tidak heran pula bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mengubah paradigma dengan menekankan berbagai upaya untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor kelautan dan perikanan.
Perubahan paradigma yang dimaksud adalah dengan lebih menekankan kepada sanksi denda administratif dibandingkan dengan mengedepankan hukuman pidana.
Apalagi, KKP menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2024 mencapai Rp12 triliun. PNBP dari sektor tersebut pada tahun 2020 lalu hanya sekitar Rp600 miliar.
Sekjen KKP Antam Novambar menyatakan, berbagai regulasi turunan yang sedang disusun dengan mengacu kepada UU Cipta Kerja yang memiliki paradigma berbeda dengan harapan antara lain agar target PNBP tercapai.
Dalam acara konsultasi publik terkait Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Bidang Kelautan dan Perikanan pada 26 April, Antam mengutarakan harapannya agar muncul kesadaran dari berbagai pihak sehingga apa yang menjadi prioritas KKP yaitu peningkatan PNBP bisa terwujud.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya melakukan konsultasi publik serta sosialisasi kepada pelaku usaha bidang perikanan terhadap beragam hal terkait UU Cipta Kerja, agar ada pencerahan dan pemahaman.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Suharta menampik anggapan bahwa UU Cipta Kerja memperlemah pengawasan dan penegakan hukum.
Suharta menyampaikan bahwa penerapan denda administratif diyakini akan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha, memberikan efek jera serta meningkatkan penerimaan negara.
Ia berpendapat bahwa bila melihat pembelajaran dan pengalaman penegakan hukum dari sejumlah negara maju, maka penerapan denda administratif ini justru sangat efektif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 5/2021, pengenaan sanksi denda administratif dikenakan terhadap pelaku usaha yang tidak melaksanakan teguran/peringatan tertulis kedua kali atau paksaan pemerintah.
Ada beragam denda administratif berdasarkan PP tersebut, antara lain pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang dari perairan yang tidak memiliki perizinan berusaha, pelanggaran terhadap usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.
Kemudian, ada pula denda administratif terkait pelanggaran terhadap pengoperasian kapal penangkap ikan tanpa membawa dokumen perizinan berusaha, kegiatan pembangunan kapal dan importasi kapal perikanan serta memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan, pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran kapal, hingga pelanggaran importasi komoditas perikanan dan pergaraman yang tidak sesuai persyaratan yang berlaku.
Komunikasikan
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Kendari, Syamsu Anam Illahi menyatakan, rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mencanangkan target tinggi untuk PNPB perikanan harus dapat dikomunikasikan dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan.
Syamsu mengungkapkan hal tersebut karena selama ini, PNBP dan pajak dinilai kerap menimbulkan ketegangan yang permanen antara pusat dan daerah, sehingga kebijakan ini harus dikomunikasikan dengan baik.
Menurut dia, rencana kenaikan pungutan PNBP perikanan mempertegas sinyalemen bahwa secara umum kebijakan keuangan pemerintah saat ini mengarah kepada resentralisasi fiskal.
Syamsu mengatakan bahwa kenaikan pungutan PNBP perikanan nantinya mesti diikuti dengan kebijakan repatriasi manfaat PNBP kepada semua pihak. "Harus clear, manfaat yang didapat harus sama dengan pajak yg diberikan," kata Syamsu.
Terkait dengan target PNBP perikanan, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa angka itu dinilai bombastis karena secara historis, realisasi PNBP perikanan selama ini tidak pernah menyentuh angka Rp1 triliun dalam setahun.
Berdasarkan data yang diperoleh Slamet, realisasi PNBP perikanan tahun 2020 yang hanya sebesar Rp600,4 miliar dan merupakan realisasi PNBP tertinggi sejak tahun 2016. Realisasi PNBP perikanan per tahun adalah Rp521 miliar pada 2019, Rp448 miliar pada 2018, Rp491 miliar pada 2017, dan Rp357 miliar pada 2016.
Selain itu, kata Slamet, berdasarkan data KKP, nilai produksi perikanan tangkap tahun 2020 berada di kisaran Rp224 triliun. Sedangkan empat tahun sebelumnya, masing-masing Rp219 triliun (2019), Rp210 triliun (2018), Rp197 triliun (2017), dan Rp122 triliun (2016).
Perizinan
Agar dapat memaksimalkan pendapatan dari PNBP, Slamet mengusulkan agar KKP memaksimalkan atau merancang skema perizinan berusaha yang lebih mudah, namun tetap telaten dan berhati-hati khususnya terhadap industri perikanan tangkap, budidaya, dan industri pascapanen.
KKP, masih menurut dia, perlu memaksimalkan pengelolaan pasca panen produk perikanan ekonomis penting seperti udang, lobster, dan rumput laut, sebagai upaya meningkatkan daya saing ekspor ke berbagai negara sasaran.
Slamet juga menegaskan agar KKP bersinergi antara lain dengan Kementerian Perdagangan untuk melobi negara tujuan ekspor agar dapat mengurangi bahkan memberikan tarif nol persen terhadap produk perikanan Indonesia yang diekspor.
Terakhir, KKP juga perlu memaksimalkan keberadaan sentra kelautan perikanan terpadu atau SKPT yang tersebar di beberapa daerah agar menggenjot industrialisasi perikanan. Pasalnya, salah satu persoalan klasik di daerah adalah persoalan logistik perikanan yang masih mahal.
Dari pihak KKP, salah satu strategi yang dikenakan adalah dengan mengenakan PNBP Sumber Daya Alam (SDA) perikanan pascaproduksi mulai Juni 2021, yang akan diterapkan secara bertahap hingga pelaksanaan secara penuh dan menyeluruh pada akhir tahun 2021.
Direktur Jenderal Perizinan dan Pelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Ridwan Mulyana dalam webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa (27/4), mengatakan implementasi PNBP SDA perikanan akan diterapkan secara terbatas di pelabuhan
Ridwan mengatakan PNBP SDA perikanan berbeda-beda tergantung kualitas dan jenis ikan serta produktivitas kapal dalam sekali tangkap. PPNBM ini dibayar di muka bagi pelaku usaha perikanan tangkap saat mendaratkan tangkapannya kepada syahbandar di pelabuhan perikanan.
PNBP itu, ujar dia, menjadi syarat bagi kapal untuk mendapatkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2021 ini rencananya mulai dilakukan peralihan di bulan Juni, yang dilakukan terbatas di pelabuhan-pelabuhan yang sudah siap.
Ridwan menerangkan pula bahwa saat ini, pemerintah telah menyiapkan implementasi PNBP perikanan pascaproduksi mulai dari konsolidasi data dan informasi untuk penetapan target PNBP perikanan, kesiapan dan pengembangan pelabuhan perikaan seperti fasilitas dan SDM, dukungan teknologi informasi seperti aplikasi yang terintegrasi dengan pelabuhan perikanan, dukungan regulasi, serta koordinasi dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan terkait.
Ridwan menegaskan nantinya hasil PPNBM SDA perikanan ini nantinya akan dikembalikan lagi kepada nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi nelayan.
Konservasi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan bahwa upaya meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan perlu perhatikan pentingnya faktor konservasi ekosistem perairan.
Abdul Halim mengakui bahwa secara logika, meningkatkan PNBP Perikanan dengan penerapan ultimum remedium (mengedepankan sanksi denda dibanding pidana penjara) jelas memiliki korelasi terhadap kenaikan pundi-pundi pemasukan negara dari pos non-pajak.
Namun, Abdul Halim mengingatkan bahwa bila bentuk pelanggaran terkait PNBP Perikanan di bidang pelanggaran lingkungan, sosial, dan ekonomi ditindak dengan menggunakan skema dengan lebih mengedepankan sanksi denda administratif dibandingkan pidana, maka niscaya masyarakat akan menerima kerugian yang jauh lebih besar.
Belum lagi, masih menurut Abdul Halim, apabila bentuk pelanggaran terhadap konservasi tersebut adalah kerusakan lingkungan di pesisir dan laut, tidak terkecuali di pulau-pulau kecil.
Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan menyatakan bahwa pemberlakuan paradigma ultimum remedium atau penekanan lebih kepada sanksi denda administratif dibanding pidana penjara dapat menjadi solusi bagi pengusaha sektor kelautan dan perikanan.
Namun, menurut Abdi, hal tersebut juga mesti didukung oleh perangkat monitoring atau pengawasan yang kuat dari Kebijakan Kelautan Indonesia yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengawasan tersebut, lanjutnya, bukan hanya terkait surat-menyurat di atas meja tetapi perlu upaya guna melakukan pengecekan langsung di lapangan.
Dengan adanya pengawasan yang kuat, maka pengubahan paradigma itu diharapkan ke depannya tidak hanya meningkatkan PNBP sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air, tetapi juga menjaga kesehatan ekosistem kawasan perairan di Nusantara.
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021