Jakarta (ANTARA News) - Tinju profesional di Indonesia belum pantas disebut profesional dalam arti sesungguhnya karena dalam praktik nyata sisi bisnis atau komersialnya tidak jalan, kata promotor kawakan KGPH Soeryo Goeritno di Jakarta, Kamis.

"Sebagai pertunjukan tinju profesional di Indonesia baru Namanya saya yang profesional, tetapi praktiknya masih amatiran. Hampir semua promotor selalu merugi bila menggelar pertandingan, karena tiket menonton pertarungan kurang laku dijual," tutur Goeritno di sela-sela peluncuran bukunya berjudul "Hitler Mati di Indonesia".

Dia mengakui bahwa dalam pertandingan tinju profesional di Indonesia hampir selalu ada spanduk sponsor. Namun dana dari sponsor dan dari hasil penujalan tiket belum dapat digunakan untuk menutupi biaya penyelenggaraan dan bayaran petinju.

Keadaan tersebut, menurut Goeritno, masih diperburuk oleh belum berfungsinya Badan Olahraga Profesional Indonesia atau BOPI (dulu bernama Badan Pembina dan Pengawas Olahraga Profesional/BP2OPI). Badan milik pemerintah ini belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagaimana seharusnya badan pengawas atau komisi.

Goeritno mencontohkan kasus batalnya pertarungan juara dunia tinju kelas bulu WBA, Chris John, melawan penantangnya dari Uganda, Jackson Asiku, di Jakarta, Juli 2008. Goeritno mengaku sebagai promotor waktu itu dia tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Padahal uang yang dia setor ke Manajer Chris John, Craig Christian, sebanyak US$ 45.000 tidak dikembalikan begitu pertandingan dibatalkan sepihak.

Goeritno kemudian melaporkan Craig ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penipuan dan penggelapan. "Saya merasa waktu itu tidak ada yang peduli pada saya. Bahkan ketika saya laporkan ke polisi ternyata sampai dua tahun belum juga selesai disidik. Sekarang pun masih belum tuntas dan belum dilimpahkan ke pengadilan," papar Goeritno.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Komisi Tinju Indonesia (KTI) Pusat Anthon Sihombing mengakui tinju profesional di Indonesia masih belum sepenuhnya profesional dalam arti sesungguhnya.

Dia mencontohkan, bayaran petinju yang relatif belum layak.

Contoh nyata misalnya dalam suatu kejuaraan nasional 12 ronde, seorang petinju terkadang dibayar hanya Rp 5 juta. Padahal jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang harus dikeluarkan oleh si petinju atau pemilik Sasana dalam latihan persiapan.

Malahan ada petinju yang tidak dibayar dalam pertandingan yang ditayangkan televisi nasional. Yang membayar justru terkadang manajernya sendiri, dengan alasan agar si petinju tidak jenuh karena hanya terus latihan tanpa bertanding.

"Jangan heran kalau sekarang petinju kita banyak yang keluar masuk penjara. Di luar sana banyak petinju kita yang hidup keleleran (terlunta-lunta)," ungkap Anthon. (*)
(ANT-133/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010