N`Djamena (ANTARA News/Reuters) - Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir tiba di Chad, Rabu, dalam kunjungan pertamanya ke negara anggota penuh pengadilan internasional yang menuntut penangkapannya karena kejahatan perang dan genosida.
Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) mengatakan bahwa sebagai negara anggota, Chad wajib menangkap Bashir. Namun, Chad menyatakan setelah kedatangan Bashir bahwa mereka tidak harus melakukan hal itu dan Bashir bisa pulang dengan aman setelah menghadiri pertemuan puncak yang dituanrumahi negara itu.
Bashir tahun lalu didakwa oleh ICC melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat. Bulan ini pengadilan tersebut menambahkan dakwaan genosida pada pemimpin Sudan itu.
Seorang saksi Reuters melihat Bashir keluar dari pesawat dan disambut oleh Presiden Chad Idriss Deby, dalam lawatan pertamanya ke luar negeri sejak surat perintah penangkapan dikeluarkan atas tuduhan genosida.
"Kami tidak wajib menangkap Omar Hassan al-Bashir," kata Ahmat Mahamat Bachir, menteri keamanan dan dalam negeri Chad, kepada Reuters.
"Bashir adalah seorang presiden yang masih menjabat. Saya tidak pernah melihat presiden yang masih menjabat ditangkap dalam perjalanannya ke negara yang dikunjungi," lanjutnya.
"Bashir datang untuk menghadiri (pertemuan puncak negara Sahel-Sahara) dan ia akan pulang kembali dengan aman dan selamat," kata menteri Chad itu.
Sejak dituntut oleh ICC, Bashir telah melakukan sejumlah perjalanan ke luar negeri. Namun, ini merupakan kepergian pertamanya ke sebuah negara anggota ICC, yang menyatakan bahwa Chad wajib menangkapnya.
"Unsur utama menyangkut Chad dan semua negara anggota adalah melaksanakan putusan hakim dan bekerja sama untuk perintah penangkapan," kata wakil ICC Fadi El Abdallah di Den Haag ketika Bashir tiba di N`Djamena.
Bashir telah membantah tuduhan-tuduhan pengadilan itu dan menyebutnya sebagai bagian dari konspirasi Barat untuk menjatuhkannya. Surat perintah penangkapan itu merupakan yang pertama dikeluarkan pengadilan tersebut terhadap seorang kepala negara yang aktif.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.
Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret 2009 memerintahkan penangkapan terhadap Bashir.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Bashir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.
Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran tujuh tahun di Darfur telah menewaskan 300.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.
Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu.
Pemberontak utama Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.
Pada Februari tahun lalu, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei 2009, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.
Kegagalan perundingan telah mengarah pada peningkatan kekerasan akhir-akhir ini di Darfur.
Bentrokan-bentrokan di wilayah itu menewaskan 221 orang pada Juni, sebagian besar akibat pertikaian antara suku-suku Arab yang bersaing, kata misi penjaga perdamaian PBB dan Uni Afrika (UNAMID).
Pada Mei, hampir 600 orang tewas dalam pertempuran, menurut sebuah dokumen internal UNAMID. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010