Jakarta (ANTARA News) - Krisis menunjukan bahwa struktur ekonomi Indonesia terbilang rapuh. Namun berbanding terbalik, krisis pula yang membuktikan bahwa UMKM tangguh. Karena itu, keberadaan UMKM sangat strategis bukan saja karena jumlah unit usahanya yang mencapai 98 persen, tapi juga mampu menyerap 90 persen tenaga kerja.

Ketua Umum DPP Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) periode 2010-2015 Ir Nitayudi, MBA mengemukaan hal tersebut pada  pembukaan Rapat KerjaNasional (Rakernas) XXI IWAPI di Jakarta, Rabu sore.

Nita mengatakan,  meski keberadaan UMKM sangat strategis, kebijakan pemerintah dirasakan masih kurang berpihak kepada UMKM, sehingga IWAPI sangat berkepentingan untuk memperjuangkan kebijakan pemerintah yang pro-UMKM karena sebagian besar anggota IWAPI bergerak di UMKM dan 60 persen sektor usaha mikro yang dikelola oleh perempuan.

IWAPI, lanjutnya, telah menyadari besarnya tantangan yang dihadapi UMKM menghadapi tingginya persaingan usaha akibat pasar bebas, serta iklim usaha yang kurang kondusif dengan pemberlakukan perdagangan beas ASEAN dan China (CAFTA) khususnya serbuan produk China, mulai dari elektronik, mainan anak, kosmetik, makanan, jamu yang mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional.

"Jika pemerintah menuntut UKM mencantumkan registrasi kementerian terkait, mengapa produk-produk asing itu tidak dituntut registrasi?. Dengan kondisi keuangan masyarakat yang terbatas dan image bahwa produk asing lebih bergengsi dari produk lokal, masyarakat akan lebih memilih produk asing yang murah tapi belum tentu sehat dan ramah lingkungan," ujaranya.

Di sisi lain, sambung Nita, iklim usaha dirasakan masih kurang kondusif. Infrastruktur seperti listrik, jalan dan transportasi, telepon, air bersih, dan lainnya, masih kurang memadai. Belum lagi suku bunga bank yang masih sangat tinggi dibanding negara tetangga, birokrasi perizinan yang belum ’melayani’ sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi di UMKM.

Menurut Nita, memang sudah banyak undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang ditujukan untuk mengkondusifkan iklim usaha seperti UU No.9/1995 yang direvisi dengan UU No 20/2008 tentang UKM, PerMendagri No. 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Atap, Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor, tapi iklim usaha dirasakan masih kurang berpihak kepada UMKM.

"Namun IWAPI juga menyadari kelemahan UMKM. Manajemen UMKM masih sangat terbatas, aset produksi lemah, SDM yang kurang, akses permodalan rendah, akses pasar rendah dan usia produk UMKM yang relatif pendek. Kesadaran akan besarnya tantangan dan kelemahan UMKM di satu sisi dan spirit memperjuangkan UMKM di sisi lain membuat IWAPI mengangkat tema Kolaborasi Usaha menuju Penguatan Ekonomi Nasional pada Rakernas XXIIWAPI ini," katanya.

Rakernas XXI IWAPI yang berlansung di Jakarta, 21-23 Juli 2010 itu diikuti sekitar 400 orang anggota IWAPI dari berbagai daerah di tanah air. Rakernas adalah program rutin tahunan IWAPI yang merupakan forum komunikasi di antara Pengurus DPP dengan DPD dan DPC.

Rakernas akan mengevaluasi Anggaran Rumah Tangga, Aturan Organisasi, Program Kerja, merencanakan program kerja tahun berikutnya serta membuat rekomendasi untuk internal IWAPI dan pemerintah. Selain itu, Rakernas XXI juga diisi pameran, donor darah, seminar dan dialog unteraktif tentang permasalahan yang dihadapi anggota IWAPI.(*)
(ANT/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010