Kabul (ANTARA News/AFP) - NATO hari Minggu menyatakan telah menyita surat pemimpin Taliban Mullah Mohammad Omar yang menyerukan penangkapan atau pembunuhan setiap orang Afghanistan yang mendukung pemerintah negara itu.
Omar mengeluarkan perintah tersebut pada Juni, kata juru bicara NATO Brigjen Josef Blotz, yang menambahkan bahwa pemimpin Taliban Afghanistan yang diburu itu diyakini bersembunyi di negara tetangga, Pakistan.
"Pesan itu datang dari Mullah Omar, yang bersembunyi di Pakistan, untuk para komandan bawahannya di Afghanistan," kata Blotz.
Menurut juru bicara tersebut, perintah kepada gerilyawan Taliban adalah memerangi pasukan koalisi hingga ajal, dan menangkap atau membunuh setiap warga sipil Afghanistan yang mendukung atau bekerja untuk pasukan koalisi atau pemerintah Afghanistan.
Surat itu juga mendorong perekrutan orang Afghanistan yang memiliki akses ke pangkalan-pangkalan NATO atau AS di negara tersebut, kata Blotz.
Omar yang bermata satu adalah pendiri Taliban dan sering disebut-sebut sebagai "komandan tertinggi" atau pemimpin spiritual. Banyak analis dan diplomat meyakini bahwa ia berada di Pakistan, meski Islamabad membantah keberadaannya di negara itu.
Pengumuman NATO itu mengenai penyergapan surat Omar itu disampaikan di tengah meningkatnya jumlah prajurit asing yang tewas di Afghanistan.
Sepanjang tahun ini jumlah prajurit asing yang tewas di Afghanistan telah melampaui 370, menurut hitungan AFP yang berdasarkan atas angka-angka di situs independen icasualties.org.
Korban-korban terakhir berjatuhan setelah Jendral AS David Petraeus hari Minggu (4/7) mulai memegang komando atas 140.000 prajurit AS dan ISAF di Afghanistan, menggantikan Jendral AS Stanley McChrystal, yang dipecat karena pembangkangan.
Sekitar 10.000 prajurit lagi akan ditempatkan di Afghanistan pada Agustus sebagai bagian dari rencana untuk meningkatkan tekanan terhadap gerilyawan, khususnya di provinsi-provinsi wilayah selatan, Helmand dan Kandahar.
Para komandan NATO telah memperingatkan negara-negara Barat agar siap menghadapi jatuhnya korban karena mereka sedang melaksanakan strategi untuk mengakhiri perang lebih dari delapan tahun di negara itu.
Marinir AS memimpin 15.000 prajurit AS, NATO dan Afghanistan dalam Operasi Mushtarak yang bertujuan menumpas militan, yang diluncurkan menjelang fajar Sabtu (13/2) untuk membuka jalan agar pemerintah Afghanistan bisa mengendalikan lagi daerah Helmand penghasil opium.
Ofensif itu dikabarkan mendapat perlawanan sengit dari Taliban, yang melancarkan serangan-serangan dari balik tameng manusia dan memasang bom pada jalan, bangunan dan pohon.
Saat ini terdapat lebih dari 140.000 prajurit internasional, terutama dari AS, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO berkekuatan lebih dari 84.000 prajurit yang berasal dari 43 negara, yang bertujuan memulihkan demokrasi, keamanan dan membangun kembali Afghanistan, namun kini masih berusaha memadamkan pemberontakan Taliban dan sekutunya.
Kekerasan di Afghanistan mencapai tingkat tertinggi dalam perang lebih dari delapan tahun dengan gerilyawan Taliban, yang memperluas pemberontakan dari wilayah selatan dan timur negara itu ke ibukota dan daerah-daerah yang sebelumnya damai.
Delapan setengah tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu beberapa bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.
Sekitar 520 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010