"Tidak saja di level pusat, tapi juga di level daerah dengan melekatnya Polri sebagai unsur muspida, baik di provinsi maupun kabupaten/kota," katanya di Medan, Minggu.
Ia juga berpendapat, wacana jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dari kalangan sipil telah lama disampaikan banyak pihak.
Hal itu lebih didasarkan pada pengharapan dan kenyataan kelembagaan Polri yang selain sejajar dengan lembaga kementerian, juga diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari tuntutan hadirnya supremasi sipil.
"Jabatan Kapolri, dalam kenyataannya sungguh telah menjadi jabatan politis. Berbeda dengan hal itu, hemat saya Polri merupakan alat negara yang kedudukan Kapolri harus dipahami selain sebagai jabatan politis, juga jabatan profesional dan karir," katanya.
Menurut dia, ketundukan kebijakan kepada Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, harus dibaca kebijakan Presiden sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan.
Di sinilah dituntut kejelian, karena di tubuh lembaga kementerian terdapat menteri koordinator (menko) yang membidangi politik, hukum dan hak asasi manusia (HAM), dimana dimensi pertahanan dan keamanan merupakan salah satu cakupan kerja menko tersebut, ujarnya.
"Harus hati-hati karena dalam kepentingan pemerintahan sulit dibedakan dengan terang, bagaimana Polri dan TNI harus `dipaksa` masuk dan tunduk pada mekanisme kepentingan pemerintah melalui menko tersebut," katanya.
Bahkan, lanjut dia, tidak jarang TNI dan Polri terlibat dalam rapat-rapat kabinet yang semestinya hal itu harus dibatasi.
Apalagi terkadang sesuatu yang tidak berkaitan secara langsung dengan tupoksi TNI dan Polri, kedua lembaga itu hadir dalam kapasitas yang patut dipertanyakan, termasuk keinginan "memaksa" kedua lembaga itu masuk dalam ranah politik kepentingan penguasa.
"Dalam posisi inilah, khususnya Polri sulit terlepas dari kepentingan elit pemerintahan yang berkuasa," katanya.(KR-JRD/R014)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010